Cacat Logika Konferensi Kelautan Dunia

WOC (World Ocean Conference) dan Coral Triangle Initiative (CTI) yang bertajuk Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change digelar sejak 11-15 Mei 2009, di Manado, Sulawesi Utara, Indonesia.

Konferensi kelautan dunia ini akan menandatangani kesepakatan oleh 6 kepala negara anggota CTI, biasa disebut CT6 (Indonesia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Malaysia). Sekitar 120 perwakilan negara dipastikan akan hadir membicarakan bagaimana peran laut dalam masalah perubahan iklim.

Ironisnya, pertemuan ini bahkan diawali dengan swiping dan pembungkaman terhjadap suara lirih nelayan beserta organisasi sipil. Pertemuan ini juga terkesan sengaja menghindari agenda apa dan siapa sesungguhnya yang berkontribusi besar terhadap percepatan perubahan iklim, memperparah dampaknya bagi negara-negara kelautan dan pulau-pulau kecil, khususnya Indonesia. Jika tak disentuh, jelas inisiatif ini malah menenggelamkan upaya menuju keadilan iklim.

Pembungkaman

Penyelenggaraan WOC dan CTI merupakan peristiwa bersejarah yang diharapkan dapat memberikan solusi terbaik bagi pengurangan dampak perubahan iklim, khususnya bagi nelayan tradisional dan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tragisnya, disamping perkara-perkara mendasar luput dari agenda utama konferensi internasional tersebut. Konferensi kelautan Dunia bahkan sejak awal telah berupaya membungkam suara-suara nelayan dan masyarakat sipil.

Sejak Jum’at, 9 April 2009, aparat pemerintah dan keamanan Sulawesi Utara telah melakukan sejumlah pelarangan sepihak terhadap persiapan pertemuan Aliansi Manado. Aparat juga menekan pemilik lokasi, dimana Aliansi Manado akan menyelenggarakan pertemuan, dan akhirnya secara sepihak pula membatalkan penggunaan lokasi tersebut. Aliansi Manado merupakan Aliansi organisasi nelayan dan masyarakat sipil lokal, nasional dan internasional yang bertujuan memberi informasi aktual seputar masalah-masalah nelayan dan kelautan, pentingnya kelestarian ekosistem laut serta solidaritas dan hak-hak nelayan.

Tak hanya itu, aparat keamanan melakukan intimidasi dengan mendatangi kelompok-kelompok Nelayan dengan mengajukan berbagai pertanyaan, yang membingungkan dan tidak mendasar. Aparat keamanan juga datang di penginapan peserta Aliansi Manado, serta melakukan kegiatan yang membuat peserta merasa tidak nyaman dan telah memasuki wilayah-wilayah privasi para peserta. Mulai mengambil gambar peserta, mengajukan pertayaan-pertanyaan hingga memaksa mendapatkan dokumen dan daftar anggota dan peserta kegiatan Aliansi Manado.

Aparat pemerintah dan keamanan juga melakukan tekanan terhadap pemilik tanah tempat penyelenggaraan Forum Kelautan dan Keadilan Perikanan berlangsung. Bahkan pemilik hotel Kolongan Beach, yang membuat pertemuan-pertemuan Aliansi Manado tak bisa berjalan sesuai rencana.

Di Teluk Manado para nelayan juga mengeluhkan penyelenggaraan WOC-CTI yang membatasi gerak mereka melaut. Sejak dua hari sebelum penyelenggaraan WOC-CTI, nelayan telah mendapatkan himbauan untuk tidak melaut, bahkan ada upaya sweeping terhadap nelayan-nelayan di wilayah Teluk Manado tersebut.

Dilihat dari pola represi dan pembungkaman yang terjadi, sulit untuk meyakinkan publik bahwa WOC dan CTI akan berdampak lebih baik bagi kehidupan dan penghidupan nelayan dan kondisi fisiologi sekitar.

Pengabaian Persoalan

Tak hanya itu, sejumlah persolan mendasar—bahkan lebih rumit, tak berusaha diurai dalam agenda WOC. Apalagi persoalan kelautan kita bukan semata-mata pencurian ikan, melainkan segala hal yang mengganggu keragaman hayati laut dan mengganggu keberlangsungan hidup nelayan.

Garis pantai diserbu proyek reklamasi pembangunan kawasan industri, perniagaan, dan permukiman mewah. Dari empat proyek reklamasi pantai di 4 propinsi saja, sudah lebih 5 ribu ha ekosistem mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam. Kini, lebih 10 proyek reklamasi pantai secara masif dilakukan di seluruh Indonesia.

Latas, apa hasilnya bagi Indonesia? Kerusakan ekosistem pesisir semakin dahsyat terjadi di Negeri Kelautan Republik Indonesia. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan industri pertambakan dan reklamasi pantai terus meluas sepanjang 25 tahun terakhir, menyisakan kurang dari 1,9 juta hektar hutan mangrove dalam 3 tahun belakangan.

Di Lampung, sekitar 60% lahan produktif pertambakan justru dikuasai satu perusahaan multinasional Charoen Phokpand (CP), yang juga mengusai sekitar 50% total ekspor udang nasional. Disisi lain, anggaran negara juga digerogoti utang luar negeri dari ADB dan Bank Dunia untuk pembangunan kegiatan pertambakan (aquaculture). Jika di rata-rata, kontribusi utang luar negeri dari sektor ini mencapai Rp39,5 miliar per tahun, sejak tahun 1983 hingga tahun 2013 mendatang.

Demikian halnya pada kehancuran terumbu karang dan perairan laut. Pilihan model pembangunan yang menempatkan industri ekstraktif sewenang-wenang dengan laut kita telah memporakporandakan lautan Indonesia. Dari dua tambang emas Amerika Serikat saja, Newmont dan PT Freeport membuang 340 ribu ton tailing setiap harinya. Demikian halnya buangan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal.

Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, hampir setiap tahun ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball). Hal yang sama terjadi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur dan Indramayu Jawa Barat. Eksplorasi minyak dan gas (MIGAS) menggunakan dinamit yang diledakan dalam laut Teluk Balikpapan telah berakibat pada kematian massal ikan dan hancurnya terumbu karang di perairan tersebut.

Bahkan dokumen amdal perusahaan emas yang belum beroperasi semacam PT Indo Multi Niaga diperairan Banyuwangi Jawa Timur sudah dapat diprediksi akan membuang limbah tailing sebesar 2.361 ton/hari. Jika eksploitasi terjadi saat tutup akan ada 3,4 juta ton tailing di laut Pancer dan sekitarnya. Limbah yang mengandung logam berat ini beresiko mencemari kawasan perairan, mempengaruhi ekositemnya dan menyebabkan gangguan kesehatan, yang mengancam keberlanjutan hidup warga dan masa depan nelayan Banyuwangi.

Secara komprehensif, situasi di atas akan memperparah krisis pangan nasional. Jika tidak dihentikan, sebelum tahun 2015, Indonesia akan krisis ikan. Gejala krisis ini telah dirasakan dari hilangnya sejumlah komoditas ikan konsumsi lokal di pasar-pasar tradisional, menurunnya tangkapan nelayan serta tingginya konflik perikanan dipicu perebutan sumberdaya perikanan yang makin terbatas. Bahkan, negara kelautan ini bergantung pasokan ikan negara lain, yang terus membesar hingga 23,34% kebutuhan ikan per tahun, sepanjang 1989 - 2007. Meningkat hingga diatas 30 persen, dalam 3 tahun terakhir.

Data Pusat Karantina menunjukkan impor udang 2007 hingga pertengahan 2008 mencapai 1,17 juta kg, di antaranya 259.095 kg berasal dari Cina dan 133.138,8 kg dari India. Angka impor udang tersebut meningkat dari 896 ton pada 2006. Akibatnya, harga udang di pasaran nasional maupun lokal mengalami penurunan, hingga 20%.

Agenda liberalisasi sektor perikanan yang mengarahkan prioritas produksi perikanan kita untuk memenuhi pasar dunia, dibanding kebutuhan protein bangsa sendiri juga sama sekali tak terlihat dalam daftar agenda WOC. Pihak asing yang paling diuntungkan dari 90% ekspor produksi udang kita, 37%nya untuk Amerika Serikat, 27 % untuk Jepang, 15 % untuk Eropa.

Lobang paling besar ajang internasional ini adalah kosongnya kesepakatan mendesak perlindungan dan pengakuan terhadap perairan dan hak-hak nelayan tradisional. Karenanya selaksa benang kusut persoalan lauta di atas perlu diurai kembali, seiring perhelatan WOC-CTI yang harus terus dipantau.(*)

» Read Full Article

KUKANG, Primata yang Terlupakan

Istilah primata mungkin bukan hal yang baru di telinga masyarakat Indonesia. Setelah primata-primata besar lainnya seperti Orang Utan (Pongo pygmaeus) dan Owa Jawa (Hylobathes moloch) dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah. Sementara itu, ada salah satu jenis primata yaitu Kukang (Nycticebus coucang) yang sedang menanti antrian menuju kepunahannya. Keterbatasan informasi mengenai kukang, yang menyebabkan satwa ini sedikit terlupakan. Tidak banyak pula literature yang diterbitkan sebagai hasil dari penelitian yang intensif.

Kukang kadang-kadang disebut pula malu-malu adalah jenis primata yang bergerak lambat. Warna rambutnya beragam, dari kelabu keputihan, kecoklatan, hingga kehitam-hitaman. Pada punggung terdapat garis coklat melintang dari belakang hingga dahi, lalu bercabang ke dasar telinga dan mata. Berat tubuh 0,375-0,9 kg, panjang tubuh dewasa 19-30 cm.

Di Ind onesia, satwa ini dapat ditemukan di Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Satwa ini menjadi incaran untuk dijadikan hewan peliharaan.

Pengelompokan
Berasal dari Ordo Primate, kukang menempati Sub Ordo Prosimian dan Family Lorisidae. Terdapat sedikitnya tiga spesies di Asia, yaitu slow loris (Nycticebus coucang), pygmy loris (Nycticebus pygmaeus) dan slender loris (Loris tardigardus).

Empat sub spesies dari slow loris yang ada, antara lain Nycticebus coucang bengalensis yang terdapat di Assam, Myanmar, Thailand dan Indo-Cina. Secara morfologi, berukuran besar dengan berat ± 2000g dan berwarna cerah. Nycticebus coucang, tersebar di Malaysia, Sumatera, Thailand bagian Selatan, sebelah Utara Kepulauan Natuna. Berukuran lebih kecil daripada Nycticebus coucang bengalensis, berwarna coklat terang dengan bagian dahi yang lebih gelap. Ketiga, Nycticebus coucang menagensis yang dapat dijumpai di daerah Borneo, Bangka dengan ukuran tubuh relative lebih kecil jika dibandingkan dengan Nycticebus coucang coucang. Terakhir, Nycticebus coucang javanicus, sesuai dengan namanya penyebarannya di Pulau Jawa. Ukuran tubuhnya lebih besar daripada sub spesies lainnya, dengan corak yang tebal pada bagian dorsal (punggung) yang menjadikan perbedaan yang cukup mencolok.

Di Indonesia belum ditemui adanya skema pasti mengenai keberadaan dan distribusi satwa ini. Penduduk lokal bahkan kerap kali keliru menganalogikannya dengan kus-kus. Hal ini dikarenakan keterbatasan dalam penyampaian informasi.

Perilaku
Seperti yang telah dikemukakan di atas, sedikit sekali penelitian khususnya mengenai perilaku kukang di habitat alaminya. Kecenderungan sebagai primata nocturnal (aktif malam hari) dan arboreal (berada di atas pohon) yang membuat mereka sebagai objek yang cukup sulit untuk diteliti.

Kukang terkenal dengan kehidupan malamnya (nocturnal) dan memakan beberapa buah-buahan dan sayuran, juga beberapa insecta, ma- mmalia kecil dan bahkan burung. Umumnya mereka meraih makanan de- ngan salah satu tangan lalu memasukkannya ke dalam mulut. Berbeda halnya dengan minum, cara yang dilakukan pun cukup unik. Mereka tidak minum langsung dari sumbernya tetapi mereka membasahi ta- ngannya dan menjiltinya.

Layaknya hewan-hewan nocturnal lainnya, pada siang hari kukang beristirahat atau tidur pada cabang-cabang pohon. Bahkan ada yang membenamkan diri ke dalam tumpukan serasah tetapi hal ini sangat jarang ditemui. Satu yang unik dari kebiasaan tidur kukang yaitu posisi dimana mereka akan menggulungkan badan, kepala diletakkan diantara kedua lutut/ekstrimitasnya.

Ketika malam hari tiba, kukang mulai melakkukan aktivitasnya. Mereka bergerak dengan menggunakan 4 anggota tubuhnya, pergerakan seperti ini disebut dengan quadropedal ke segala arah baik itu peregrakan vertical ataupun horizontal (climbing). Pada hewan-hewan yang hidup di penangkaran, mereka bergerak memanjat dan mengitari kandang disebut denan aksplorasi. Tak jauh berbeda dengan kehidupannya di alam, kukang yang hidup di penangkaran pun menciumi segala sesuatu / objek yang ditemuinya serta melakukan penandaan / marking dengan urine.


Berdasarkan rekaman hasil penelitian di lapangan,diketahui bahwa kukang hidup secara soliter, walaupun di beebrapa saat ditemui adanya interaksi namun tidak lebih sebatas fase tahapan reproduksi. Masa estrus pada kukang berkisar antara 30-40 hari. Pada hewan betina, jika memasuki masa estrus maka akan lebih sering mengeluarkan suara / vokalisasi berupa siulan. Selain itu, terjadi pembengkakan pada area genitalianya. Jika jantan men dengarkan dan tertarik akan siulan betina, maka jantan kemudian mendekati betina dan me- ngadakan kopulasi. Masa kehamilan atau gestation periode selama 176 sampai 198 hari atau kurang lebih selama 6 bulan.

Status
Sejauh ini, kukang dikategorikan sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan (Vulnarable) berdasarkan IUCN dan termasuk ke dalam Appendix II, CITES. Walaupun demikian, namun pada kenyataannya masih banyak kukang yang didapati dipelihara bahkan diperjual belikan di pasaran. Selain itu, pembukaan lahan dan praktek illegal logging yang semakin marak juga memicu hilangnya habitat alami satwa ini. Akankah kita hanya menanti dan tetap berdiam diri untuk menyaksikan kukang yang begitu indah ini masuk ke dalam kategori Punah? Oleh karena itu, kita sebagai insan yang diberi akal dan budi pekerti dari Tuhan YME selayaknya ikut berpartisipasi dalam tindakan yang nyata guna menahan bahkan menghentikan laju pengrusakan dan perburuan keanekargaman hayati yang kita miliki, karena Konservasi itu untuk semua.

(dikutip dari berbagai sumber). By : Vina / NEF Scholarship

» Read Full Article

Taman Nasional Gunung Merapi

Taman Nasional Gunung Merapi merupakan kawasan dengan ekosistem yang spesifik, yaitu kawasan hutan tropis dengan nuansa volkan (dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunung berapi). Karakteristik ekosistemnya memiliki berbagai variasi, mulai dari ekosistem montana, tropical montain forest, hutan sekunder, hingga hutan tanaman.
 
Gunung Merapi merupakan kawasan unik dengan ke- khasan geosystem, biosystem dan sociosystem. Kawasan ini mempunyai peranan yang sangat penting bagi wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai sumber air bersih, sumber udara bersih dan kenyamanan lingkungan. Kawasan ini merupakan daerah tangkapan air dengan beberapa hulu sungai yang mengairi tidak saja kawasan Merapi, tetapi kawasan lain di bawahnya, sehingga Gunung Merapi sering disebut sebagai "Jantung atau Nyawa" Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara sosio kultural Gunung Merapai dipercayai memiliki keterkaitan secara supranatural dengan masyarakat Gunung Merapi. Sehingga banyak upacara ri- tual yang dilakukan masyarakat berkaitan dengan Gunung Merapi.
Sejak tahun 2004, Menteri Kehutanan  merubah fungsi kawasan  Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada kelompok hutan  Gunung Merapi seluas ± 6.410 hektar, yang terletak di Kabupaten Magelang,  Boyolali dan Klaten,  Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Provinsi  Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi Taman Nasional Gunung Merapi.

Fisik
Secara geologis, wilayah Taman Nasional Gunung Merapi terletak pada perpotongan antara dua sesar, yaitu sesar transversal dan sesar longitudinal Pulau Jawa, dan batuan utama penyusun Gunung Merapi terdiri dan 2 fase,  yaitu :
1. endapan vulkanik Gunung Merapi Muda, yang tersusun oleh tufa, lahar, breksi, dan lava andesitis hingga basaltis yang penyebarannya merata di  seluruh wilayah Gunung Merapi.
2. endapan vulkanik kwarter tua yang terdapat secara lokal pada topografi perbukitan kecil di sekitar Gunung Merapi Muda, yang merupakan bagian dari aktivitas Gunung Merapi Tua, yaitu terdapat di bukit Gono, Turgo, Plawangan, Maron dan dinding bagian timur kawah Gunung api Merapi (Geger Boyo).

Topografi
Bentuk bentang lahan yang ada sangat khas, yaitu puncak Merapi dengan lerengnya yang menuju ke segala arah dengan lereng yang sangat curam di wilayah yang dekat dengan puncak dan semakin melandai kearah bawah. Le- reng Merapi bagian timur (Selo) relatif lebih terjal, sementara di bagian barat dan utara (Babadan, Kinahrejo) relatif lebih landai. Arah letusan gunung api sangat jarang menuju ke timur, yang paling sering menuju ke arah barat daya. Proses letusan sering terjadi, dan lereng barat sering menerima dampak letusan, sehingga lereng barat akan semakin landai.

Wilayah puncak Gunung Merapi sampai ke- tinggian 1.500 m dpl, merupakan daerah terjal dengan kemiringan lebih dari 30º. Wilayah yang paling luas adalah kawasan dengan kemiringan 12º - 30º  terletak pada ketinggian 750 - 1.500 m dpl, dan daerah inilah  yang merupakan daerah resapan air.

Iklim
Tipe iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk tipe iklim C atau agak basah. Curah hujan bervariasi de- ngan curah hujan terendah sebesar 875 mm/tahun dan curah hujan tertinggi sebesar 2527 mm per tahun. Bulan basah terjadi pada bulan November sampai dengan Mei sedangkan bulan kering terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober.  

Hidrologi  
Secara umum di wilayah Gunung Merapi terdapat 3 Daerah aliran Sungai (DAS) utama, yaitu DAS Progo (bagian barat), DAS Opak (bagian tengah) dan DAS Bengawan Solo (bagian timur). Sistem sungai yang terbentuk oleh ketiga sungai besar tersebut akan membentuk tiga bagian pola aliran sungai sebagai berikut  :  
a. Berawal dari kerucut Gunung Merapi, anak-anak sungai menyebar membentuk pola  aliran radial centrifugal.
b. Di bagian lereng kaki gunung, anak-anak sungai tersebut mengalir relatif sejajar menuruni lereng, membentuk pola sub parallel.
c. Seluruh anak sungai, masuk ke sungai utamanya di dataran alluvial kaki lereng volkanik yang membentuk pola aliran sub dendritik.  
 
Kawasan ini juga merupakan kawasan dengan cadangan air tanah yang melimpah dan banyak dijumpai mata air yang banyak dimanfaatkan untuk irigasi, perkebunan, peternakan, perikanan, obyek wisata dan juga untuk air kemasan.
Biotik
Taman Nasional Gunung Merapi memiliki tiga zona penyusun vegetasi, yaitu :
1. Zona atas; pada zona ini berlangsung proses xyrocere, yaitu suksesi primer yang terjadi pada hutan batuan kering, sehingga vegetasinya didominasi jenis lumut, rerumputan, herba dan perdu.
2. Zona tengah, merupakan hutan alam pegunungan tropis (Tropical mountain forest).
3. Zona bawah, merupakan zona interaksi antara manusia dan alam yang vegetasinya didominasi oleh tanaman de- ngan pola agroforestry, yang meliputi agroforestry pola rumput-rumputan, pola komoditi komersial, pola holtikultura, pola pangan dan pola kayu-kayuan.

Flora
Pada kawasan hutan Gunung Merapi dijumpai ± 72 jenis flora. Hutan primernya didominasi oleh jenis serangan (Castanopsis argentia),  hutan sekunder dan hutan tanamannya didominasi oleh jenis puspa (Schima walichii) dan pinus (Pinus merkusii).  Disamping itu pada kawasan hutan ini dijumpai jenis anggrek endemik dan langka, yaitu Vanda tricolor.

Jenis anggrek yang ada di kawasan ini tidak kurang dari 47 jenis, antara lain Dendrobium saggitatum, D. crumenatum, Eria retusa, Oboronia similis, dan Spathoglottis plicata.

Jenis-jenis lainnya, antara lain Acacia decurens, Bambusa spp, Albizia spp, Euphatorium inufolium, Lithocarpus elegans, Leucena galuca, L. leucoocephla, Hibiscus tiliaceus, Arthocarpus integra, Casuarina sp, Syzygium aromaticum, Melia azadirachta, Erytrina variegata, dan Ficus alba.

Disamping itu terdapat jenis tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti jenis rumput, Imperata cylindrica, Panicum reptans, Antraxon typicus dan Pogonatherum paniceum.
Fauna
Potensi fauna di kawasan Gunung Merapi mencakup mamalia, reptil dan burung.

Mamalia; beberapa jenis diantaranya, yaitu macan tutul (Panthera pardus), kucing besar (Felis sp), musang (Paradoxurus hermaprodus), bajing (Laricus insignis), bajing kelapa (Colosciurus notatusi), kera ekor panjang (Macaca fascilcularis), lutung kelabu (Presbytis fredericae), babi hutan (sus scrofa , S. vittatus), kijang (Muntiacus muntjak), dan rusa (Cervus timorensis).

Burung; Hasil inventarisasi tahun 2001 diketahui bahwa kawasan Gunung Merapi memiliki 99 jenis burung. Beberapa diantaranya memiliki status endemik,  antara lain  elang jawa (Spizaetus bartelsi), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), burung madu jawa (Aethopyga mystacalis), burung madu gunung (A. eximia), cabai gunung (Dicaeum sanguinolenium), cekakak gunung (Halcyon cyanoventris), Gemak (Turnix silvatica) dan serindit jawa (Loriculus pusilus). Beberapa jenis lainnya, seperti elang hitam (Ictinaetus malayensis), jalak suren (Strurnus contra), betet (Psittacula alexandri), alap-alap macan (Falco severus) , elang bido (Spilornis cheela), dan walet gunung (Collocalia volcanorum).

Reptil; Jenis reptil, antara lain ular sowo (Dytas coros), ular gadung (Trimeresurus albobabris) dan bunglon (Goneocephalus sp.)
Wisata
Taman Nasional Gunung Merapi memiliki potensi wisata bernuansa volkan yang  sangat luar biasa. Beberapa tempat dan atraksi yang dapat dinikmati dan dikembangkan di kawasan ini, antara lain; Kawasan puncak merapi, atraksi panorama air terjun yang indah, area Jalur Treking Kinahrejo, arsitektur tradisional Jawa dan lain-lain.

Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Merapi adalah taman nasional yang baru saja ditunjuk pada tahun 2004 lalu, sehingga belum memiliki unit pengelola sendiri dan pengelolaannya masih dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam DI Yogyakarta, sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.  
  
Sementara ini, obyek-obyek wisata yang ada di Taman Nasional Gunung Merapi dikelola oleh berbagai instansi meliputi Dinas pariwisata, Dinas Kehutanan, Perum Perhutani, Swasta, dan masyarakat/Desa.

Dikutip dari berbagai sumber (Habarudin Aco/Staff LEMBAR Indonesia). 

» Read Full Article

si Huna dari air tawar

Huna atau disebut juga Freshwater Crayfish (di Indonesia disebut Lobster Air Tawar), mempunyai sebaran yang sangat luas hampir di seluruh dunia. Keanekaragaman jenis huna mencakup kurang lebih 500 spesies yang terbagi dalam tiga famili, yaitu Astacidae dan Cambaridae di belahan dunia bagian Utara, serta Parastacidae di belahan dunia bagian Selatan.

Jenis Cherax tersebar hampir di seluruh Australia dan Papua Nugini. Dari jenis Cherax terapat 3 huna komersial, yaitu : yabby (Cherax destructor), redclaw (Cherax quadricarinatus, Von Martens) , dan maroon (Cherax tenuimanus). Di Papua Nugini terdapat jenis-jenis huna yang hidup di aliran-aliran sungai Lembah Baliem, antara lain Huna Biru (Cherax albertisi) , C. lorentzi, C. monticola dan C. Lakembutu.

Klasifikasi Huna
Klasifikasi Huna adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthopoda
Sub phylum : Mandibulata
Classis : Crustacea
Sub classic : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Parastacidae
Genus : Cherax
Species : Cherax quadricarinatus
Cherax albertisi

Morfologi Huna
Huna mempunyai morfologi seperti udang. Badan huna terbagi menjadi 2 bagian yaitu Cephallothorax, dan abdomen. Pada bagian kepala terdapat sepasang antena dan sepasang antennula yang berfungsi sebagai reseptor, sepasang mata dan rostrum yang terletak pada bagian anterior. Huna juga mempunyai cangkang keras yang mengandung kalsium.

Pakan Huna
Huna merupakan hewan omnivora atau pemakan tumbuhan dan hewan. Pada habitatnya aslinya, huna menyukai cacing, udang-udangan kecil, larva serangga, keong-keong yang kecil, daun tanaman air yang lunak, plankton dan detritus.

Pada huna betina terdapat brood chamber yang berfungsi sebagai ruang penetasan telur, pada bagian kaki renangpun terdapat bulu-bulu kecil halus, yang berfungsi sebagai tempat melekatnya telur oleh karena itu selama masa breeding huna betina tidak banyak melakukan aktivitas. Pada bagian ekor terdapat dua pasang sirip ekor (uropoda) yang berfungsi untuk mengayuh dan telson yang terletak pada bagian tengah dari ekor.

Huna mempunyai ciri perbedaan antara kelamin jantan dan betina, yaitu pada huna jantan terdapat tonjolan pada kaki ke 4, sedangkan pada huna betina terdapat sepasang bulatan pada kaki jalan ke 3 yang merupakan tempat keluarnya telur

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan huna mulai dari larva benih sampai tingkat juwana (dewasa) memiliki kesamaan morfologi. Larva huna sudah memiliki karakteristik berupa capit dan karapas yang keras, serta sifat kanibalisme, sehingga pada stadium larvapun huna sudah dapat dibedakan dengan jenis udang air tawar lainnya. Huna mengalami empat fase kehidupan yaitu, telur, pasca larva, juvenil dan juwana (induk). Huna memijah pada malam hari pada saat suasana tenang dan tidak ada gangguan. Kondisi ini sesuai dengan sifat huna yang nocturnal.
Huna memiliki memiliki siklus bertelur 4 kali dalam setahun, sekali bertelur induk betina berukuran 15 cm memiliki fekunditas (potensi jumlah telur) antara 300-500 butir. Pada hari pertama telur diletakkan pada brood chamber, telur berwarna kuning muda, 14 hari kemudian telur berubah warna menjadi kuning sindur sebagai tanda perkembangan embrio, menginjak minggu ketiga telur berubah warna menjadi merah muda, dan akhirnya pada minggu keempat menjadi merah tua sampai kecoklatan. Pada akhir minggu keempat telur mulai menetas menghasikan pasca larva (PL) yang sudah menyerupai huna dewasa.

Pasca larva mengalami ganti kulit beberapa kali, karena harus bertubuh dan berkembang menjadi dewasa sedang di sisi lain kulitnya yang terdiri dari bahan kitin tidak dapat berkembang mengikuti perubahan ukuran tubuh. Proses ganti kulit (moulting) diawali dengan robeknya kulit lama pada bagian punggung ruas pertama abdomen persis di belakang cephallothorax . Tubuh yang dibalut kulit baru yang terus berkembang memperbesar robekan tersebut sehingga cephallothorax lama pecah dan cephallothorax baru keluar , dengan meggunakan kaki jalan yang sudah keluar dari kulit lama dengan bergerak menarik bagian abdomen dari balutan kulit lama

Proses pergantian kulit mengalami kegagalan pada saat pengeluaran cephallothorax baru apabila huna tidak cukup mendapat makanan sebelum proses ganti kulit berlangsung. Kegagalan ganti kulit selalu diikuti dengan kematian. (Di kutip dari berbagai sumber).
By : Gumilar / Volunteer LEMBAR Indonesia.

» Read Full Article