Cacat Logika Konferensi Kelautan Dunia

WOC (World Ocean Conference) dan Coral Triangle Initiative (CTI) yang bertajuk Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change digelar sejak 11-15 Mei 2009, di Manado, Sulawesi Utara, Indonesia.

Konferensi kelautan dunia ini akan menandatangani kesepakatan oleh 6 kepala negara anggota CTI, biasa disebut CT6 (Indonesia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Malaysia). Sekitar 120 perwakilan negara dipastikan akan hadir membicarakan bagaimana peran laut dalam masalah perubahan iklim.

Ironisnya, pertemuan ini bahkan diawali dengan swiping dan pembungkaman terhjadap suara lirih nelayan beserta organisasi sipil. Pertemuan ini juga terkesan sengaja menghindari agenda apa dan siapa sesungguhnya yang berkontribusi besar terhadap percepatan perubahan iklim, memperparah dampaknya bagi negara-negara kelautan dan pulau-pulau kecil, khususnya Indonesia. Jika tak disentuh, jelas inisiatif ini malah menenggelamkan upaya menuju keadilan iklim.

Pembungkaman

Penyelenggaraan WOC dan CTI merupakan peristiwa bersejarah yang diharapkan dapat memberikan solusi terbaik bagi pengurangan dampak perubahan iklim, khususnya bagi nelayan tradisional dan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tragisnya, disamping perkara-perkara mendasar luput dari agenda utama konferensi internasional tersebut. Konferensi kelautan Dunia bahkan sejak awal telah berupaya membungkam suara-suara nelayan dan masyarakat sipil.

Sejak Jum’at, 9 April 2009, aparat pemerintah dan keamanan Sulawesi Utara telah melakukan sejumlah pelarangan sepihak terhadap persiapan pertemuan Aliansi Manado. Aparat juga menekan pemilik lokasi, dimana Aliansi Manado akan menyelenggarakan pertemuan, dan akhirnya secara sepihak pula membatalkan penggunaan lokasi tersebut. Aliansi Manado merupakan Aliansi organisasi nelayan dan masyarakat sipil lokal, nasional dan internasional yang bertujuan memberi informasi aktual seputar masalah-masalah nelayan dan kelautan, pentingnya kelestarian ekosistem laut serta solidaritas dan hak-hak nelayan.

Tak hanya itu, aparat keamanan melakukan intimidasi dengan mendatangi kelompok-kelompok Nelayan dengan mengajukan berbagai pertanyaan, yang membingungkan dan tidak mendasar. Aparat keamanan juga datang di penginapan peserta Aliansi Manado, serta melakukan kegiatan yang membuat peserta merasa tidak nyaman dan telah memasuki wilayah-wilayah privasi para peserta. Mulai mengambil gambar peserta, mengajukan pertayaan-pertanyaan hingga memaksa mendapatkan dokumen dan daftar anggota dan peserta kegiatan Aliansi Manado.

Aparat pemerintah dan keamanan juga melakukan tekanan terhadap pemilik tanah tempat penyelenggaraan Forum Kelautan dan Keadilan Perikanan berlangsung. Bahkan pemilik hotel Kolongan Beach, yang membuat pertemuan-pertemuan Aliansi Manado tak bisa berjalan sesuai rencana.

Di Teluk Manado para nelayan juga mengeluhkan penyelenggaraan WOC-CTI yang membatasi gerak mereka melaut. Sejak dua hari sebelum penyelenggaraan WOC-CTI, nelayan telah mendapatkan himbauan untuk tidak melaut, bahkan ada upaya sweeping terhadap nelayan-nelayan di wilayah Teluk Manado tersebut.

Dilihat dari pola represi dan pembungkaman yang terjadi, sulit untuk meyakinkan publik bahwa WOC dan CTI akan berdampak lebih baik bagi kehidupan dan penghidupan nelayan dan kondisi fisiologi sekitar.

Pengabaian Persoalan

Tak hanya itu, sejumlah persolan mendasar—bahkan lebih rumit, tak berusaha diurai dalam agenda WOC. Apalagi persoalan kelautan kita bukan semata-mata pencurian ikan, melainkan segala hal yang mengganggu keragaman hayati laut dan mengganggu keberlangsungan hidup nelayan.

Garis pantai diserbu proyek reklamasi pembangunan kawasan industri, perniagaan, dan permukiman mewah. Dari empat proyek reklamasi pantai di 4 propinsi saja, sudah lebih 5 ribu ha ekosistem mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam. Kini, lebih 10 proyek reklamasi pantai secara masif dilakukan di seluruh Indonesia.

Latas, apa hasilnya bagi Indonesia? Kerusakan ekosistem pesisir semakin dahsyat terjadi di Negeri Kelautan Republik Indonesia. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan industri pertambakan dan reklamasi pantai terus meluas sepanjang 25 tahun terakhir, menyisakan kurang dari 1,9 juta hektar hutan mangrove dalam 3 tahun belakangan.

Di Lampung, sekitar 60% lahan produktif pertambakan justru dikuasai satu perusahaan multinasional Charoen Phokpand (CP), yang juga mengusai sekitar 50% total ekspor udang nasional. Disisi lain, anggaran negara juga digerogoti utang luar negeri dari ADB dan Bank Dunia untuk pembangunan kegiatan pertambakan (aquaculture). Jika di rata-rata, kontribusi utang luar negeri dari sektor ini mencapai Rp39,5 miliar per tahun, sejak tahun 1983 hingga tahun 2013 mendatang.

Demikian halnya pada kehancuran terumbu karang dan perairan laut. Pilihan model pembangunan yang menempatkan industri ekstraktif sewenang-wenang dengan laut kita telah memporakporandakan lautan Indonesia. Dari dua tambang emas Amerika Serikat saja, Newmont dan PT Freeport membuang 340 ribu ton tailing setiap harinya. Demikian halnya buangan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal.

Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, hampir setiap tahun ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball). Hal yang sama terjadi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur dan Indramayu Jawa Barat. Eksplorasi minyak dan gas (MIGAS) menggunakan dinamit yang diledakan dalam laut Teluk Balikpapan telah berakibat pada kematian massal ikan dan hancurnya terumbu karang di perairan tersebut.

Bahkan dokumen amdal perusahaan emas yang belum beroperasi semacam PT Indo Multi Niaga diperairan Banyuwangi Jawa Timur sudah dapat diprediksi akan membuang limbah tailing sebesar 2.361 ton/hari. Jika eksploitasi terjadi saat tutup akan ada 3,4 juta ton tailing di laut Pancer dan sekitarnya. Limbah yang mengandung logam berat ini beresiko mencemari kawasan perairan, mempengaruhi ekositemnya dan menyebabkan gangguan kesehatan, yang mengancam keberlanjutan hidup warga dan masa depan nelayan Banyuwangi.

Secara komprehensif, situasi di atas akan memperparah krisis pangan nasional. Jika tidak dihentikan, sebelum tahun 2015, Indonesia akan krisis ikan. Gejala krisis ini telah dirasakan dari hilangnya sejumlah komoditas ikan konsumsi lokal di pasar-pasar tradisional, menurunnya tangkapan nelayan serta tingginya konflik perikanan dipicu perebutan sumberdaya perikanan yang makin terbatas. Bahkan, negara kelautan ini bergantung pasokan ikan negara lain, yang terus membesar hingga 23,34% kebutuhan ikan per tahun, sepanjang 1989 - 2007. Meningkat hingga diatas 30 persen, dalam 3 tahun terakhir.

Data Pusat Karantina menunjukkan impor udang 2007 hingga pertengahan 2008 mencapai 1,17 juta kg, di antaranya 259.095 kg berasal dari Cina dan 133.138,8 kg dari India. Angka impor udang tersebut meningkat dari 896 ton pada 2006. Akibatnya, harga udang di pasaran nasional maupun lokal mengalami penurunan, hingga 20%.

Agenda liberalisasi sektor perikanan yang mengarahkan prioritas produksi perikanan kita untuk memenuhi pasar dunia, dibanding kebutuhan protein bangsa sendiri juga sama sekali tak terlihat dalam daftar agenda WOC. Pihak asing yang paling diuntungkan dari 90% ekspor produksi udang kita, 37%nya untuk Amerika Serikat, 27 % untuk Jepang, 15 % untuk Eropa.

Lobang paling besar ajang internasional ini adalah kosongnya kesepakatan mendesak perlindungan dan pengakuan terhadap perairan dan hak-hak nelayan tradisional. Karenanya selaksa benang kusut persoalan lauta di atas perlu diurai kembali, seiring perhelatan WOC-CTI yang harus terus dipantau.(*)

» Read Full Article

KUKANG, Primata yang Terlupakan

Istilah primata mungkin bukan hal yang baru di telinga masyarakat Indonesia. Setelah primata-primata besar lainnya seperti Orang Utan (Pongo pygmaeus) dan Owa Jawa (Hylobathes moloch) dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah. Sementara itu, ada salah satu jenis primata yaitu Kukang (Nycticebus coucang) yang sedang menanti antrian menuju kepunahannya. Keterbatasan informasi mengenai kukang, yang menyebabkan satwa ini sedikit terlupakan. Tidak banyak pula literature yang diterbitkan sebagai hasil dari penelitian yang intensif.

Kukang kadang-kadang disebut pula malu-malu adalah jenis primata yang bergerak lambat. Warna rambutnya beragam, dari kelabu keputihan, kecoklatan, hingga kehitam-hitaman. Pada punggung terdapat garis coklat melintang dari belakang hingga dahi, lalu bercabang ke dasar telinga dan mata. Berat tubuh 0,375-0,9 kg, panjang tubuh dewasa 19-30 cm.

Di Ind onesia, satwa ini dapat ditemukan di Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Satwa ini menjadi incaran untuk dijadikan hewan peliharaan.

Pengelompokan
Berasal dari Ordo Primate, kukang menempati Sub Ordo Prosimian dan Family Lorisidae. Terdapat sedikitnya tiga spesies di Asia, yaitu slow loris (Nycticebus coucang), pygmy loris (Nycticebus pygmaeus) dan slender loris (Loris tardigardus).

Empat sub spesies dari slow loris yang ada, antara lain Nycticebus coucang bengalensis yang terdapat di Assam, Myanmar, Thailand dan Indo-Cina. Secara morfologi, berukuran besar dengan berat ± 2000g dan berwarna cerah. Nycticebus coucang, tersebar di Malaysia, Sumatera, Thailand bagian Selatan, sebelah Utara Kepulauan Natuna. Berukuran lebih kecil daripada Nycticebus coucang bengalensis, berwarna coklat terang dengan bagian dahi yang lebih gelap. Ketiga, Nycticebus coucang menagensis yang dapat dijumpai di daerah Borneo, Bangka dengan ukuran tubuh relative lebih kecil jika dibandingkan dengan Nycticebus coucang coucang. Terakhir, Nycticebus coucang javanicus, sesuai dengan namanya penyebarannya di Pulau Jawa. Ukuran tubuhnya lebih besar daripada sub spesies lainnya, dengan corak yang tebal pada bagian dorsal (punggung) yang menjadikan perbedaan yang cukup mencolok.

Di Indonesia belum ditemui adanya skema pasti mengenai keberadaan dan distribusi satwa ini. Penduduk lokal bahkan kerap kali keliru menganalogikannya dengan kus-kus. Hal ini dikarenakan keterbatasan dalam penyampaian informasi.

Perilaku
Seperti yang telah dikemukakan di atas, sedikit sekali penelitian khususnya mengenai perilaku kukang di habitat alaminya. Kecenderungan sebagai primata nocturnal (aktif malam hari) dan arboreal (berada di atas pohon) yang membuat mereka sebagai objek yang cukup sulit untuk diteliti.

Kukang terkenal dengan kehidupan malamnya (nocturnal) dan memakan beberapa buah-buahan dan sayuran, juga beberapa insecta, ma- mmalia kecil dan bahkan burung. Umumnya mereka meraih makanan de- ngan salah satu tangan lalu memasukkannya ke dalam mulut. Berbeda halnya dengan minum, cara yang dilakukan pun cukup unik. Mereka tidak minum langsung dari sumbernya tetapi mereka membasahi ta- ngannya dan menjiltinya.

Layaknya hewan-hewan nocturnal lainnya, pada siang hari kukang beristirahat atau tidur pada cabang-cabang pohon. Bahkan ada yang membenamkan diri ke dalam tumpukan serasah tetapi hal ini sangat jarang ditemui. Satu yang unik dari kebiasaan tidur kukang yaitu posisi dimana mereka akan menggulungkan badan, kepala diletakkan diantara kedua lutut/ekstrimitasnya.

Ketika malam hari tiba, kukang mulai melakkukan aktivitasnya. Mereka bergerak dengan menggunakan 4 anggota tubuhnya, pergerakan seperti ini disebut dengan quadropedal ke segala arah baik itu peregrakan vertical ataupun horizontal (climbing). Pada hewan-hewan yang hidup di penangkaran, mereka bergerak memanjat dan mengitari kandang disebut denan aksplorasi. Tak jauh berbeda dengan kehidupannya di alam, kukang yang hidup di penangkaran pun menciumi segala sesuatu / objek yang ditemuinya serta melakukan penandaan / marking dengan urine.


Berdasarkan rekaman hasil penelitian di lapangan,diketahui bahwa kukang hidup secara soliter, walaupun di beebrapa saat ditemui adanya interaksi namun tidak lebih sebatas fase tahapan reproduksi. Masa estrus pada kukang berkisar antara 30-40 hari. Pada hewan betina, jika memasuki masa estrus maka akan lebih sering mengeluarkan suara / vokalisasi berupa siulan. Selain itu, terjadi pembengkakan pada area genitalianya. Jika jantan men dengarkan dan tertarik akan siulan betina, maka jantan kemudian mendekati betina dan me- ngadakan kopulasi. Masa kehamilan atau gestation periode selama 176 sampai 198 hari atau kurang lebih selama 6 bulan.

Status
Sejauh ini, kukang dikategorikan sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan (Vulnarable) berdasarkan IUCN dan termasuk ke dalam Appendix II, CITES. Walaupun demikian, namun pada kenyataannya masih banyak kukang yang didapati dipelihara bahkan diperjual belikan di pasaran. Selain itu, pembukaan lahan dan praktek illegal logging yang semakin marak juga memicu hilangnya habitat alami satwa ini. Akankah kita hanya menanti dan tetap berdiam diri untuk menyaksikan kukang yang begitu indah ini masuk ke dalam kategori Punah? Oleh karena itu, kita sebagai insan yang diberi akal dan budi pekerti dari Tuhan YME selayaknya ikut berpartisipasi dalam tindakan yang nyata guna menahan bahkan menghentikan laju pengrusakan dan perburuan keanekargaman hayati yang kita miliki, karena Konservasi itu untuk semua.

(dikutip dari berbagai sumber). By : Vina / NEF Scholarship

» Read Full Article

Taman Nasional Gunung Merapi

Taman Nasional Gunung Merapi merupakan kawasan dengan ekosistem yang spesifik, yaitu kawasan hutan tropis dengan nuansa volkan (dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunung berapi). Karakteristik ekosistemnya memiliki berbagai variasi, mulai dari ekosistem montana, tropical montain forest, hutan sekunder, hingga hutan tanaman.
 
Gunung Merapi merupakan kawasan unik dengan ke- khasan geosystem, biosystem dan sociosystem. Kawasan ini mempunyai peranan yang sangat penting bagi wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai sumber air bersih, sumber udara bersih dan kenyamanan lingkungan. Kawasan ini merupakan daerah tangkapan air dengan beberapa hulu sungai yang mengairi tidak saja kawasan Merapi, tetapi kawasan lain di bawahnya, sehingga Gunung Merapi sering disebut sebagai "Jantung atau Nyawa" Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara sosio kultural Gunung Merapai dipercayai memiliki keterkaitan secara supranatural dengan masyarakat Gunung Merapi. Sehingga banyak upacara ri- tual yang dilakukan masyarakat berkaitan dengan Gunung Merapi.
Sejak tahun 2004, Menteri Kehutanan  merubah fungsi kawasan  Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada kelompok hutan  Gunung Merapi seluas ± 6.410 hektar, yang terletak di Kabupaten Magelang,  Boyolali dan Klaten,  Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Provinsi  Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi Taman Nasional Gunung Merapi.

Fisik
Secara geologis, wilayah Taman Nasional Gunung Merapi terletak pada perpotongan antara dua sesar, yaitu sesar transversal dan sesar longitudinal Pulau Jawa, dan batuan utama penyusun Gunung Merapi terdiri dan 2 fase,  yaitu :
1. endapan vulkanik Gunung Merapi Muda, yang tersusun oleh tufa, lahar, breksi, dan lava andesitis hingga basaltis yang penyebarannya merata di  seluruh wilayah Gunung Merapi.
2. endapan vulkanik kwarter tua yang terdapat secara lokal pada topografi perbukitan kecil di sekitar Gunung Merapi Muda, yang merupakan bagian dari aktivitas Gunung Merapi Tua, yaitu terdapat di bukit Gono, Turgo, Plawangan, Maron dan dinding bagian timur kawah Gunung api Merapi (Geger Boyo).

Topografi
Bentuk bentang lahan yang ada sangat khas, yaitu puncak Merapi dengan lerengnya yang menuju ke segala arah dengan lereng yang sangat curam di wilayah yang dekat dengan puncak dan semakin melandai kearah bawah. Le- reng Merapi bagian timur (Selo) relatif lebih terjal, sementara di bagian barat dan utara (Babadan, Kinahrejo) relatif lebih landai. Arah letusan gunung api sangat jarang menuju ke timur, yang paling sering menuju ke arah barat daya. Proses letusan sering terjadi, dan lereng barat sering menerima dampak letusan, sehingga lereng barat akan semakin landai.

Wilayah puncak Gunung Merapi sampai ke- tinggian 1.500 m dpl, merupakan daerah terjal dengan kemiringan lebih dari 30º. Wilayah yang paling luas adalah kawasan dengan kemiringan 12º - 30º  terletak pada ketinggian 750 - 1.500 m dpl, dan daerah inilah  yang merupakan daerah resapan air.

Iklim
Tipe iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk tipe iklim C atau agak basah. Curah hujan bervariasi de- ngan curah hujan terendah sebesar 875 mm/tahun dan curah hujan tertinggi sebesar 2527 mm per tahun. Bulan basah terjadi pada bulan November sampai dengan Mei sedangkan bulan kering terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober.  

Hidrologi  
Secara umum di wilayah Gunung Merapi terdapat 3 Daerah aliran Sungai (DAS) utama, yaitu DAS Progo (bagian barat), DAS Opak (bagian tengah) dan DAS Bengawan Solo (bagian timur). Sistem sungai yang terbentuk oleh ketiga sungai besar tersebut akan membentuk tiga bagian pola aliran sungai sebagai berikut  :  
a. Berawal dari kerucut Gunung Merapi, anak-anak sungai menyebar membentuk pola  aliran radial centrifugal.
b. Di bagian lereng kaki gunung, anak-anak sungai tersebut mengalir relatif sejajar menuruni lereng, membentuk pola sub parallel.
c. Seluruh anak sungai, masuk ke sungai utamanya di dataran alluvial kaki lereng volkanik yang membentuk pola aliran sub dendritik.  
 
Kawasan ini juga merupakan kawasan dengan cadangan air tanah yang melimpah dan banyak dijumpai mata air yang banyak dimanfaatkan untuk irigasi, perkebunan, peternakan, perikanan, obyek wisata dan juga untuk air kemasan.
Biotik
Taman Nasional Gunung Merapi memiliki tiga zona penyusun vegetasi, yaitu :
1. Zona atas; pada zona ini berlangsung proses xyrocere, yaitu suksesi primer yang terjadi pada hutan batuan kering, sehingga vegetasinya didominasi jenis lumut, rerumputan, herba dan perdu.
2. Zona tengah, merupakan hutan alam pegunungan tropis (Tropical mountain forest).
3. Zona bawah, merupakan zona interaksi antara manusia dan alam yang vegetasinya didominasi oleh tanaman de- ngan pola agroforestry, yang meliputi agroforestry pola rumput-rumputan, pola komoditi komersial, pola holtikultura, pola pangan dan pola kayu-kayuan.

Flora
Pada kawasan hutan Gunung Merapi dijumpai ± 72 jenis flora. Hutan primernya didominasi oleh jenis serangan (Castanopsis argentia),  hutan sekunder dan hutan tanamannya didominasi oleh jenis puspa (Schima walichii) dan pinus (Pinus merkusii).  Disamping itu pada kawasan hutan ini dijumpai jenis anggrek endemik dan langka, yaitu Vanda tricolor.

Jenis anggrek yang ada di kawasan ini tidak kurang dari 47 jenis, antara lain Dendrobium saggitatum, D. crumenatum, Eria retusa, Oboronia similis, dan Spathoglottis plicata.

Jenis-jenis lainnya, antara lain Acacia decurens, Bambusa spp, Albizia spp, Euphatorium inufolium, Lithocarpus elegans, Leucena galuca, L. leucoocephla, Hibiscus tiliaceus, Arthocarpus integra, Casuarina sp, Syzygium aromaticum, Melia azadirachta, Erytrina variegata, dan Ficus alba.

Disamping itu terdapat jenis tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti jenis rumput, Imperata cylindrica, Panicum reptans, Antraxon typicus dan Pogonatherum paniceum.
Fauna
Potensi fauna di kawasan Gunung Merapi mencakup mamalia, reptil dan burung.

Mamalia; beberapa jenis diantaranya, yaitu macan tutul (Panthera pardus), kucing besar (Felis sp), musang (Paradoxurus hermaprodus), bajing (Laricus insignis), bajing kelapa (Colosciurus notatusi), kera ekor panjang (Macaca fascilcularis), lutung kelabu (Presbytis fredericae), babi hutan (sus scrofa , S. vittatus), kijang (Muntiacus muntjak), dan rusa (Cervus timorensis).

Burung; Hasil inventarisasi tahun 2001 diketahui bahwa kawasan Gunung Merapi memiliki 99 jenis burung. Beberapa diantaranya memiliki status endemik,  antara lain  elang jawa (Spizaetus bartelsi), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), burung madu jawa (Aethopyga mystacalis), burung madu gunung (A. eximia), cabai gunung (Dicaeum sanguinolenium), cekakak gunung (Halcyon cyanoventris), Gemak (Turnix silvatica) dan serindit jawa (Loriculus pusilus). Beberapa jenis lainnya, seperti elang hitam (Ictinaetus malayensis), jalak suren (Strurnus contra), betet (Psittacula alexandri), alap-alap macan (Falco severus) , elang bido (Spilornis cheela), dan walet gunung (Collocalia volcanorum).

Reptil; Jenis reptil, antara lain ular sowo (Dytas coros), ular gadung (Trimeresurus albobabris) dan bunglon (Goneocephalus sp.)
Wisata
Taman Nasional Gunung Merapi memiliki potensi wisata bernuansa volkan yang  sangat luar biasa. Beberapa tempat dan atraksi yang dapat dinikmati dan dikembangkan di kawasan ini, antara lain; Kawasan puncak merapi, atraksi panorama air terjun yang indah, area Jalur Treking Kinahrejo, arsitektur tradisional Jawa dan lain-lain.

Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Merapi adalah taman nasional yang baru saja ditunjuk pada tahun 2004 lalu, sehingga belum memiliki unit pengelola sendiri dan pengelolaannya masih dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam DI Yogyakarta, sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.  
  
Sementara ini, obyek-obyek wisata yang ada di Taman Nasional Gunung Merapi dikelola oleh berbagai instansi meliputi Dinas pariwisata, Dinas Kehutanan, Perum Perhutani, Swasta, dan masyarakat/Desa.

Dikutip dari berbagai sumber (Habarudin Aco/Staff LEMBAR Indonesia). 

» Read Full Article

si Huna dari air tawar

Huna atau disebut juga Freshwater Crayfish (di Indonesia disebut Lobster Air Tawar), mempunyai sebaran yang sangat luas hampir di seluruh dunia. Keanekaragaman jenis huna mencakup kurang lebih 500 spesies yang terbagi dalam tiga famili, yaitu Astacidae dan Cambaridae di belahan dunia bagian Utara, serta Parastacidae di belahan dunia bagian Selatan.

Jenis Cherax tersebar hampir di seluruh Australia dan Papua Nugini. Dari jenis Cherax terapat 3 huna komersial, yaitu : yabby (Cherax destructor), redclaw (Cherax quadricarinatus, Von Martens) , dan maroon (Cherax tenuimanus). Di Papua Nugini terdapat jenis-jenis huna yang hidup di aliran-aliran sungai Lembah Baliem, antara lain Huna Biru (Cherax albertisi) , C. lorentzi, C. monticola dan C. Lakembutu.

Klasifikasi Huna
Klasifikasi Huna adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthopoda
Sub phylum : Mandibulata
Classis : Crustacea
Sub classic : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Parastacidae
Genus : Cherax
Species : Cherax quadricarinatus
Cherax albertisi

Morfologi Huna
Huna mempunyai morfologi seperti udang. Badan huna terbagi menjadi 2 bagian yaitu Cephallothorax, dan abdomen. Pada bagian kepala terdapat sepasang antena dan sepasang antennula yang berfungsi sebagai reseptor, sepasang mata dan rostrum yang terletak pada bagian anterior. Huna juga mempunyai cangkang keras yang mengandung kalsium.

Pakan Huna
Huna merupakan hewan omnivora atau pemakan tumbuhan dan hewan. Pada habitatnya aslinya, huna menyukai cacing, udang-udangan kecil, larva serangga, keong-keong yang kecil, daun tanaman air yang lunak, plankton dan detritus.

Pada huna betina terdapat brood chamber yang berfungsi sebagai ruang penetasan telur, pada bagian kaki renangpun terdapat bulu-bulu kecil halus, yang berfungsi sebagai tempat melekatnya telur oleh karena itu selama masa breeding huna betina tidak banyak melakukan aktivitas. Pada bagian ekor terdapat dua pasang sirip ekor (uropoda) yang berfungsi untuk mengayuh dan telson yang terletak pada bagian tengah dari ekor.

Huna mempunyai ciri perbedaan antara kelamin jantan dan betina, yaitu pada huna jantan terdapat tonjolan pada kaki ke 4, sedangkan pada huna betina terdapat sepasang bulatan pada kaki jalan ke 3 yang merupakan tempat keluarnya telur

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan huna mulai dari larva benih sampai tingkat juwana (dewasa) memiliki kesamaan morfologi. Larva huna sudah memiliki karakteristik berupa capit dan karapas yang keras, serta sifat kanibalisme, sehingga pada stadium larvapun huna sudah dapat dibedakan dengan jenis udang air tawar lainnya. Huna mengalami empat fase kehidupan yaitu, telur, pasca larva, juvenil dan juwana (induk). Huna memijah pada malam hari pada saat suasana tenang dan tidak ada gangguan. Kondisi ini sesuai dengan sifat huna yang nocturnal.
Huna memiliki memiliki siklus bertelur 4 kali dalam setahun, sekali bertelur induk betina berukuran 15 cm memiliki fekunditas (potensi jumlah telur) antara 300-500 butir. Pada hari pertama telur diletakkan pada brood chamber, telur berwarna kuning muda, 14 hari kemudian telur berubah warna menjadi kuning sindur sebagai tanda perkembangan embrio, menginjak minggu ketiga telur berubah warna menjadi merah muda, dan akhirnya pada minggu keempat menjadi merah tua sampai kecoklatan. Pada akhir minggu keempat telur mulai menetas menghasikan pasca larva (PL) yang sudah menyerupai huna dewasa.

Pasca larva mengalami ganti kulit beberapa kali, karena harus bertubuh dan berkembang menjadi dewasa sedang di sisi lain kulitnya yang terdiri dari bahan kitin tidak dapat berkembang mengikuti perubahan ukuran tubuh. Proses ganti kulit (moulting) diawali dengan robeknya kulit lama pada bagian punggung ruas pertama abdomen persis di belakang cephallothorax . Tubuh yang dibalut kulit baru yang terus berkembang memperbesar robekan tersebut sehingga cephallothorax lama pecah dan cephallothorax baru keluar , dengan meggunakan kaki jalan yang sudah keluar dari kulit lama dengan bergerak menarik bagian abdomen dari balutan kulit lama

Proses pergantian kulit mengalami kegagalan pada saat pengeluaran cephallothorax baru apabila huna tidak cukup mendapat makanan sebelum proses ganti kulit berlangsung. Kegagalan ganti kulit selalu diikuti dengan kematian. (Di kutip dari berbagai sumber).
By : Gumilar / Volunteer LEMBAR Indonesia.

» Read Full Article

Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove

Pelatihan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan untuk penyuluh, staff dinas kehutanan/perikanan/pertanian dan LSM seluruh Indonesia periode 2007 yang dilaksanakan di Denpasar, Bali berjalan lancar sampai akhir kegiatan. Dari hasil pelatihan tersebut secara pribadi banyak hal yang diperoleh baik dari segi pengetahuan maupun pengalaman. Banyak ilmu baru yang didapat khususnya tentang mangrove.

Selama pelatihan kita dibekali berbagai materi dan informasi seputar mangrove mulai dari pengenalan jenis, pemanfaatan, hukum dan perundang-undangan, inventarisasi dan teknik rehabilitasi. Seluruh materi yang diberikan diarahkan sesuai dengan tema pelatihan yaitu pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.

Pelatihan ini diselenggarakan oleh Balai Penge- lolaan Hutan Mangrove (BPHM) wilayah 1 yang bekerjasama dengan Mangrove Information Center (MIC) JICA. Pelatihan ini merupakan program rutin yang diselenggarakan oleh BPHM dalam mendukung program kerja dan misi yang diemban dalam pelestarian hutan mangrove.

Program ini sudah berjalan yang ke empat kalinya dan yang terakhir dilaksanakan yaitu pada tanggal 4-10 Juli 2007 di Denpasar, Bali.

Selain materi teori yang diberikan ada juga materi praktek di lapangan (field trip) dan kunjungan lapang. Pada kesempatan kali ini kita diajak mengunjungi sebuah instansi pemerintah yaitu Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang terletak di Lagoon Nusa Dua. Instansi ini mengolah air buangan/limbah rumah tangga, pabrik dan hotel yang nantinya akan disalurkan lagi ke rumah tangga, pabrik dan perhotelan. Kemudian kita di- ajak ke Bali Bird Park yaitu taman burung yang menyajikan berbagai jenis burung-burung langka, ada hal yang menarik dimana setiap pengunjung tidak akan mau ketinggalan momen ini yaitu atraksi burung. Burung-burung ini menurut semua apa yang diperintahkan keepernya.

Ada beberapa hal yang menarik berdasarkan pengamatan pribadi saya bahwa setiap melakukan kunjungan keobjek wisata/nonwisata kita selalu didampingi oleh pemandu (guider) yang melayani kita semaksimal mungkin dan setiap pengemudi (driver) yang membawa kita khusus di servis oleh pihak pengelola objek wisata. Hal ini salah satunya yang membedakan Bali dengan daerah lain karena selain keramahan para penduduknya struktur budayanya menjadi daya tarik tersendiri.


Habitat dengan ciri tersebut dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal dan landai serta di muara sungai. Jika posisi pantai dan muara sungainya terlindung dari gempuran ombak yang ganas, maka hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Disamping komunitas tumbuhan mangrove, ekosistem ini juga memiliki keanekaragaman fauna yang cukup tinggi, baik invertebrate maupun vertebrata. Tidak berbeda dengan vegetasinya, fauna mangrove memiliki kemampuan adaptasi tertentu terhadap kondisi lingkungannya.
Berdasarkan pengamatan selama pelatihan bahwa BPHM selalu disibukkan dan tak henti-hentinya menerima para pengunjung dari segala lapisan masyarakat sekadar untuk melihat kawasan hutan mangrove yang cukup menarik dan kondisi yang masih bagus serta terawat dengan baik.

Tanpa kita sadari bahwa ternyata mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan, yaitu sebagai penahan gelombang dan arus laut, tempat berkembangbiaknya berbagai macam hewan laut maupun darat.

Semakin bagus kondisi mangrovenya maka semakin kecil tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat terpaan gelombang air laut. Dengan adanya pelatihan ini membuat kita semakin termotivasi untuk melestarikan sumberdaya alam yang ada untuk generasi penerus kelak.

Selain ilmu yang kita dapat, ikatan ukhuwah semakin erat. Tak terpikirkan sebelumnya saya dapat bertemu teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki berbagai keunikan dengan gaya bicara mereka, bahasa, warna kulit dan paras khas daerah masing-masing. Kemajemukan itu membuat kita semakin erat.

Dengan adanya pelatihan ini semua peserta khususnya merasa senang, karena belum tentu semua orang bisa mengalaminya. Apalagi diadakannya di Bali yang terkenal dengan objek wisatanya yang kesohor ke belahan dunia. Itu semua merupakan nilai tambah bagi kita semua. Pelatihan ini berjalan dengan sukses karena dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak.

Banyak jenis-jenis mangrove yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan. Ternyata mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang besar, sebagai contoh ada beberapa jenis mangrove dari famili Rhizophora yang bisa dimanfaatkan sebagai makanan (di daerah Bali dimanfaatkan sebagai campuran nasi). Tempat mencari makan berbagai biota laut maupun darat. Sebagian besar banyak biota laut dan darat memiliki ketergantungan terhadap mangrove. Sebagai penahan dari gelombang air laut dan ombak besar, mencegah pengikisan tanah oleh air laut dan masih banyak yang lain-lainnya.

Pelayanan dan perhatian pihak penyelenggara terhadap para peserta sangat baik, begitu pula sebaliknya. Dibuktikan dengan adanya interaksi, komunikasi yang begitu dekat seolah-olah dirasa sebagai teman lama yang pernah kita kenal. Hal seperti ini memang perlu adanya karena dapat meningkatkan semangat dan ikatan emosional antara individu sehingga semua acara dan kegiatan terlaksana dengan lancar tanpa kurang suatu apapun.

Selain itu pelayanan akomodasi yang disediakan juga cukup memadai. Lokasi yang dekat dengan tempat pelatihan dan pelayanan pihak wisma tempat kita me- nginap yang ramah dan santun.

Dari berbagai materi yang didapat selama pelatihan ada salah satu materi yang cukup menarik perhatian yaitu materi field trip (fraktek lapang) dimana peserta diajak berkeliling disekitar kawasan mangrove (mangrove information center) dikenalkan langsung dengan berbagai jenis mangrove di alam dan mempelajari perbedaan jenis serta habitat dari mangrove. Kemudian dikenalkan dengan fauna penghuni kawasan mangrove.

Selain materi yang diberikan cukup menarik, para pengajarnya juga berkompeten serta kepanitian pihak penyelenggara yang solid dan pengertian. Membuat suasana pelatihan semakin menarik dan mengasyikkan. Sehingga waktu berlalu terasa begitu cepat membuat para peserta semakin asyik menikmati hari-hari terakhir menjelang kepulangan ke daerah masing-masing.

Dari segi pengalaman tentunya banyak pengalaman yang menarik didapat dari hasil pelatihan. Banyak teman dan kenalan baru dari berbagai daerah dengan karakter yang berbeda-beda. Banyak mengenal dan tahu beberapa lokasi pariwisata dan tempat-tempat umum lainnya yang ada di Bali. Dengan begitu secara tidak langsung kita mengetahui adat dan budaya serta kehidupan sosial masyarakat pulau Dewata.

By : Dase Suherman / Staff LEMBAR Indonesia

» Read Full Article

Manfaat dari Makroalga dan Lamun

Sekitar 70% bumi tertutupi oleh laut, yang merupakan ekosistem terbesar yang ada di alam. Tumbuhan laut (marine botany) merupakan salah satu produsen laut paling utama dalam rantai makanan dunia. Variasi tumbuhan laut mulai dari yang unisellular (bersel satu) hingga multisellular (bersel banyak), dari tumbuhan tingkat rendah hingga tingkat tinggi.

Makroalga dan lamun adalah contoh marine botany yang paling utama. Makroalga (seaweeds) yang lebih dikenal dengan ganggang merupakan bagian dari tumbuhan multisellular tingkat rendah (non-vaskular). Seringkali masyarakat Indonesia menyebut makroalga dengan sebutan rumput laut. Rumput laut yang sebenarnya adalah lamun (seagrasses), yang merupakan tumbuhan laut tingkat tinggi (vascular). Kondisi lamun yang menyerupai padang rumput di daratan, oleh karena itu disebut rumput laut, memiliki beberapa fungsi ekologis yang sangat potensial berupa perlindungan bagi hewan-hewan invertebrate dan ikan-ikan kecil.

Begitu banyak manfaat yang dapat diambil dari makroalga dan lamun yang paling utama adalah sebagai sumber makanan yang kaya akan protein, baik bagi organisme laut itu sendiri ataupun untuk manusia. Budidaya makroalga sudah cukup berkembang di Indonesia, misalnya sebagai bahan utama pembuatan es krim dan agar-agar. Jika dimanfaatkan secara potensial, makroalga dapat dijadikan sumber penghasilan yang cukup menjanjikan, karena pasarannya sampai ke luar negeri. Selain itu, beberapa jenis gastropoda juga banyak yang menjadikan makroalga sebagai tempat tinggal.

Terdapat 52 spesies lamun di dunia dan 12 diantaranya berada di perairan Indonesia. Luas padang lamun di Indonesia diperkirakan mencapai 30.000 km2, dari luasan tersebut diperkirakan 10%nya sudah mengalami kerusakan. Sebagai tumbuhan tingkat tinggi, lamun harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang memiliki kadar garam sangat tinggi.
Manfaat padang lamun selain sebagai penyedia zat organic dan habitat bagi hewan-hewan kecil (gastropoda, teripang, ikan-ikan kecil dan plankton), juga sebagai sumber makanan utama bagi hewan-hewan besar seperti penyu dan ikan duyung (Dugong dugon). Sebaran daun-daun lamun yang sangat padat dan saling berdekatan dapat meredam gerak arus dan gelombang laut.

Secara fisik padang lamun juga berfungsi sebagai stabilisator perairan pantai dengan mengikat sediment lepas dan membantu meredam kekuatan arus dan gelombang (Komite Nasional Penge- lolaan Lahan Basah, 2004). Lamun merupakan indikator yang baik untuk ekosistem yang sehat. Bila lamun tidak ada atau hilang dari pesisir pantai, hal tersebut menunjukkan sesuatu yang buruk terjadi.

Kurangnya perhatian terhadap ekosistem lamun menyebabkan semakin banyaknya kegiatan yang mengancam kelestarian ekosistem lamun. Hal tersebut berkaitan dengan identifikasi lamun yang merupakan bagian penting, mengingat lamun merupakan bagian dari ekosistem laut yang memiliki prospek yang baik untuk masa depan.

Ekosistem lamun banyak berhubungan dengan pertumbuhan makroalga. Hal tersebut menjelaskan sebagian sedimen lamun berkurang karena ditempati oleh makroalga. Di Filipina dan Indonesia, budidaya alga merah Euchema sp. dikembangkan berasosiasi dengan lamun karena dapat meningkatkan nilai ekonominya. (dikutip dari berbagai sumber)
By : Fika Afriyani / NEF Scholar’s from UI

» Read Full Article

Sekilas TNGH

Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH). Sejak tahun 1935, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, dengan luas 40.000 ha., dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).  Ditetapkanlah SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan total luas kawasan menjadi 113,357 ha dan terletak di Propinsi Jawa Barat dan Banten meliputi Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dimana, saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa.

Dilihat dari bentuk kawasannya, TNGHS berbentuk seperti bintang atau jemari, sehingga batas yang mengelilingi kawasan ini menjadi lebih panjang. Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi didalamnya  terdapat  beberapa enclave perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktivitas pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata.

Konon, banyak para petani tradisional maupun pendatang sudah tinggal sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai areal konservasi, sehingga menjadi tantangan pengelola, para pihak dan masyarakat lokal dalam mengembangkan model pengelolaan kawasan TNGHS yang lebih kolaboratif dan berkelanjutan.

Menurut Undang Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, TNGHS sebagai kawasan konservasi mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu : perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan menunjang pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dan berkesinambungan, seperti : pengatur tata air dan iklim mikro, konservasi hidupan liar, tempat penelitian, pendidikan lingkungan, kegiatan ekowisata dan pelestarian budaya.
 
Dimana secara nyata kawasan hutan TNGHS merupakan sumber air yang amat penting bagi masyarakat di sekitarnya termasuk kota-kota besar seperti : Bogor, Sukabumi, Tangerang, Rangkasbitung dan Jakarta. Serta menjadi tempat hidup masyarakat lokal Kesepuhan Banten Kidul, Wewengkoan Cibedug dan Masyarakat Baduy, dimana telah terjadi interaksi masyarakat dengan hutan alam yang masih utuh secara turun temurun.
Topografi kawasan pada umumnya adalah bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Adapun curah hujan rata-rata 4000 - 6000 mm/tahun, musim hujan terjadi pada bulan Oktober – April, musim kemarau berlangsung bulan Mei– September.  Dengan iklim yang basah, dari kawasan ini mengalir beberapa sungai yang tak pernah kering dan mensuplai air ke wilayah sekitarnya. Sungai-sungai tersebut antara lain Ciberang — Ciujung, Cidurian, Cisadane, Cimadur dan Citarik maupun Citatih yang jauh lebih dikenal sebagai tempat wisata arung jeram.  

Diperkirakan lebih dari 1.000 jenis tumbuhan terdapat di kawasan TNGHS. Selain itu, tercatat 258 jenis anggrek, 12 jenis bambu, 13 jenis rotan dan jenis-jenis tanaman pangan, hias dan tanaman obat. Khusus di sekitar puncak Gunung Salak juga terdapat jenis-jenis tumbuhan kawah dan hutan lumut.

Adapun satwa yang hidup di TNGHS juga sangat beragam dan beberapa jenis di antaranya adalah jenis langka dan dilindungi, antara lain : Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas), Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata) dan Lutung (Trachypithecus auratus).

Kawasan TNGHS juga merupakan surga bagi berbagai jenis serangga yang unik dan indah. Saat ini di TNGHS juga tercatat 244 jenis burung di kawasan ini dan 32 di antaranya adalah endemik Pulau Jawa, seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), dan Luntur Gunung (Harpactes reinwardtii).

Selain terdapat potensi flora, fauna, ekosistem hutan dan tradisi sosial budaya Masyarakat Kesepuhan Banten Kidul, Wewengkoan Cibedug dan Masyarakat Baduy seperti Seren Taun, di dalam kawasan TNGHS juga terdapat potensi pariwisata alam lainnya, seperti : fenomena alam puncak gunung, air terjun, bentang alam, perkebunan teh dan situs-situs arkeologis.

TNGHS juga sudah dikenal wisata Trekking  antar lokasi objek wisata alam. Pengunjung dapat melakukan lintas alam dari satu lokasi ke lokasi lainnya, sambil melakukan pengamatan kehidupan liar, keseharian aktivitas masyarakat lokal seperti proses pembuatan gula aren, tanam padi, atau sekedar bertualang.

Upaya-upaya yang telah banyak dilakukan oleh Balai TNGHS dengan mitra-mitranya, tentunya belum akan memberikan manfaat yang lebih besar untuk penyelamatan kawasan TNGHS, apabila tidak didukung dan diikuti oleh komitmen secara terus menerus oleh peran aktif masyarakat sekitar kawasan maupun masyarakat lainnya untuk terus mendukung mempertahankan konservasi kawasan TNGHS.
(Dikutip dari berbagai sumber).

By : Akos / LEMBAR

» Read Full Article

Mengenal Kehidupan Semut

Serangga merupakan hewan yang memiliki keanekaragaman paling tinggi serta mempunyai jumlah paling ba- nyak dibandingkan dengan kelompok hewan lainnya. Diperkirakan dari semua mahluk hidup bergerak yang berada di muka bumi ini sebagian besar atau sekitar 70 % dari keseluruhan jenis yang telah diidentifikasi adalah serangga.

Salah satu ordo serangga yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi ke tiga di dunia serangga adalah Hymenoptera. Berasal dari kata hymen (membran) dan ptera (sayap), jadi ciri utama Hymenoptera adalah bersayap membran.

Hymenoptera terdiri dari ± 115.000 jenis, meliputi serangga-serangga yang bervariasi seperti semut (Formicidae), lebah, dan tawon. Suksesnya Hymenoptera sebagai ordo lebih disebabkan oleh tingkat adaptasi perilaku yang tinggi diban- dingkan karakteristik fisik atau biokimia.

Semut termasuk kelas Insekta, ordo Hymenoptera, sub ordo Apocrita dan famili Formicidae. Sebagai serangga sosial yang paling sukses, Formicidae mampu hidup dalam lingkungan yang beragam. Lebih dari 20.000 spesies Formicidae yang tersebar di seluruh daratan di dunia, dari tropis hingga kutub, puncak gunung tertinggi hingga wilayah gurun yang tandus, kecuali perairan. Famili Formicidae dalam ekosistem memegang
peranan yang berfungsi penting bagi keseimbangan ekosistem. Diantaranya ada yang bersifat fitopagus (pemakan daun), herbivorus (pemakan tumbuhan), predator (pemangsa), bahkan parasit (merugikan yang lain).

Tubuh Formicidae dibagi menjadi 3 bagian, yaitu caput, thoraks, dan abdomen (Gambar 1). Ukuran tubuh bervariasi dari kecil sampai besar, panjangnya berkisar antara 1mm-4cm.
Gambar. 1 Morfologi Formicidae

Pada bagian kepala terdapat antena yang digunakan sebagai organ peraba, penciuman, dan komunikasi. Antena Formicidae termasuk tipe geniculate, terletak diantara kedua mata majemuk. Mata majemuk ini terdapat di kanan dan kiri kepala yang terdiri atas beberapa mata facet, selain itu pada beberapa jenis dilengkapi dengan mata ocelli.

Thoraks dibagi menjadi 3 ruas, yaitu: prothoraks, mesothoraks, dan metathotraks. Pada bagian mesothoraks dan metathoraks terdapat sepasang sayap yang hanya dimiliki oleh Formicidae jantan dan ratu.

Pada bagian perut terdapat 11 segmen pada ruas kedua dan ketiga pada beberapa jenis Formicidae mengecil dan kadang sampai tipis sekali disebut petiole. Ruas abdomen secara vertikal dibagi menjadi dua bagian, bagian atas disebut tergum dan bagian bawah disebut sternum.

Pada kepala terdapat mulut yang dilengkapi dengan mandibula sebagai alat multifungsi dan bahkan sebagai senjata dengan struktur yang bervariasi sesuai dengan cara hidupnya. Pada bentuk primitif Formicidae mempunyai se- ngatan yang beracun, namun kemudian berkembang menjadi mekanisme pertahanan kimia yang efektif.

Formicidae merupakan serangga sosial yang hidup dalam koloni. Bentuk koloni yang sudah lengkap dapat berjumlah hingga 1 juta ekor. Koloni Formicidae bersifat perennial (tahunan). Sistem sosial ini memiliki kolaborasi yang sangat efektif antar penghuni di dalam satu sarang. Formicidae memiliki bentuk polimorf (beragam) dan sebagai organisasi sosial memiliki kasta-kasta yang berbeda, yaitu: ratu, jantan yang bersayap, pekerja, dan terkadang ada prajurit. Masing-masing kasta Formicidae tersebut mempunyai tugas tersendiri yang berhubungan dengan kelangsungan hidup koloninya.

Ratu merupakan betina reproduktif yang mempunyai sayap, namun segera terlepas setelah reproduksi (mating). Sperma yang dikeluarkan jantan oleh ratu diletakkan di organ yang disebut spermatheca dan digunakan untuk memfertilisasi telur-telurnya. Seekor ratu dapat mencapai umur 15 tahun dan selama itu mampu menghasilkan telur yang dapat dibuahi oleh sperma yang berasal dari spermatheca. Pekerja terdiri dari mayor, media, dan minor. Mayor adalah prajurit (soldier) merupakan sub kasta dengan jumlah terbesar, sedangan media adalah pekerja antara mayor dan minor. Minor adalah pekerja dengan jumlah terkecil. Kasta pekerja merupakan bagian terbesar dari koloni, bersifat non fertil, tidak mempunyai sayap, dan mengerjakan semua pekerjaan dalam koloni, seperti mencari makanan, merawat larva, membersihkan dan membangun sarang.

Jantan memiliki sayap dan mata yang berkembang sempurna. Pada banyak spesies jantan berukuran lebih besar dari pekerja, tetapi lebih kecil dari ratu. Jantan akan mati setelah kopulasi. Jantan tidak memberikan kontribusi apapun terhadap koloninya, kecuali membuahi ratu. Saat menunggu hingga penerbangan pertama untuk kawin (nuptial flight ) jantan akan diberi makan oleh pekerja. (Dikutip dari berbagai sumber ).
By : Dewi Suprobowati / Volunteer LEMBAR

» Read Full Article

Nagao International Workshop di Vietnam

Suatu kesempatan berharga bagi saya, Mutia Hardhiyuna (Universitas Negeri Jakarta) dan dua orang teman lainnya yaitu Hesti Purnamasari (Universitas Pakuan) dan Arief Syaifudin (Universitas Islam As-Syafi’iyah) karena kami terseleksi sebagai duta dari Indonesia dalam acara Nagao International Workshop NEF (Nagao Natural Environment Foundation) Scholarship Program yang telah berlangsung di Vietnam pada tanggal 21– 27 Januari 2007. Selain itu kami juga didampingi Bapak Aep Saefurahman (dosen Universitas Pakuan) dan Bapak Imran Tumora (komite NEF Indonesia).

Dalam workshop ini, kami dapat menjalin persahabatan dengan mahasiswa penerima beasiswa NEF scholarship program beserta dosen dan komite NEF dari lima negara di Asia Tenggara, diantarsanya : Malaysia, Filipina, Laos, Myanmar dan Vietnam. Dalam acara ini juga hadir komite NEF dari Jepang yaitu Mr. Suzuki dan Mrs.Yae Sano, para professor dari Vietnam National University serta panitia penyelenggara yaitu CRES (Centre for Natural Resourses of Enviromental Studies) dari Vietnam.

Workshop ini dikemas dengan berbagai aktivitas yang menarik seperti : traditional games, traditional culture, camp fire, city tour, farewell party dan kunju- ngan ke Wetland, Quat Lam Beach, kawasan mangrove (pengamatan burung), Cuc Phuong National Park (CPNP), penangkaran primata dan mamalia di CPNP serta menyaksikan atraksi menarik dari suku Meung yaitu suku asli Vietnam yang tinggal di dalam CPNP. Acara inti dari workshop ini adalah presentasi dan diskusi me- ngenai konservasi lingku-ngan dari mahasiswa masing-masing negara.

Kami berangkat dari Hanoi dengan bus ke CPNP. Di perjalanan terlihat benta- ngan sawah yang luas (Vietnam merupakan negara kedua penghasil beras tertinggi di dunia), serta danau-danau dan makam yang bercorak khas Vietnam yang terletak diantara sawah-sawah dan dikelilingi rumah penduduk.
Setibanya di CPNP kami berkunjung ke zona inti taman national dan melihat Ancient Tree. Sejak tahun 1962 ditetapkan Cuc Phuong sebagai Taman Nasional yang luasnya sampai saat ini yaitu 22.200 Ha. Pada malam hari di taman nasional diadakan pertunjukan pakaian dan budaya tradisional dari mahasiswa di setiap negara dan games for introduction. Keesokannya adalah presentasi dari panitia penyelanggara, pihak taman nasional, komite Nagao Jepang dan para profesor mengenai upaya konservasi lingkungan. Setelah itu, untuk mempererat keakraban maka diadakan traditional games dari masing-masing negara. Ternyata hampir semua negara memiliki permainan “Tapak Gunung” yang sangat familiar di Indonesia.

Maka tibalah saatnya pada acara utama yang diselenggarakan hari berikutnya yaitu presentasi dari mahasiswa. Mahasiswa Indonesia mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan makalah nya yang berjudul “Javan-hawk Eagle Conservation in Indonesia”. Kami sangat senang dapat meng-informasikan mengenai makalah ini tetapi perasaan kami bercampur-baur dengan perasaan gugup ditambah dengan udara dingin sekitar 130C. Para audience sangat antusias. Pada saat diskusi, salah seorang mahasiswa dari Vietnam menanyakan apakah Elang Jawa dapat diletakkan di kebun binatang di Vietnam karena mereka ingin melihat Elang Jawa secara langsung. Selain itu, ada yang menanyakan pengaruh flu burung terhadap Elang Jawa.
Setelah itu, kami dapat mengetahui keadaan lingkungan di masing-masing negara melalui presentasi dari mahasiswa berbagai negara, Laos dengan sumber daya alam di negaranya dan Filipina dengan kesuksesan dari manajemen konservasi salah satu pulau yang memperkaya keanekaragaman hayatinya. Mahasiswa dari Malaysia, Vietnam dan Myanmar adalah mahasiswa postgraduate (pasca sarjana) sehingga mereka mempresentasikan hasil penelitian di negaranya masing-masing.

Selain itu terdapat aktivitas yang sangat menyenangkan yaitu kunju- ngan di luar taman nasional ke Wetland yang merupakan objek wisata yang sangat menarik dan dikelilingi dengan perahu tradisional. Kawasan ini merupakan kawasan rawa yang disekeli-lingnya terdapat pegunu- ngan batu yang berliku-liku. Terdapat sekitar 50 pegunungan batu dan gua yang sangat indah. Selain itu kami melakukan pengamatan burung di kawasan mangrove dengan perahu. Disini terdapat burung endemik yaitu Black Spoon Bills dan burung-burung air lainnya yang juga terdapat di Indonesia seperti Egretta. Mangrove di kawasan ini kanopinya tidak begitu rapat seperti di Indonesia dan banyak mangrove yang baru tumbuh. Setelah itu kami menginap di Saigoon Hotel di depan Quat Lam Beach.

Dari semua pengalaman tersebut, hal yang paling menarik adalah memiliki teman-teman baru dari berbagai negara dengan latar belakang pendidikan yang tidak jauh berbeda. Keakraban terjalin dan kenangan indah terjaga selamanya. Semoga dengan diadakan kegiatan seperti ini oleh NEF, maka dapat menggalakkan upaya konservasi lingkungan di setiap negara khususnya di Indonesia serta menjalin hubungan persahabatan antar universitas dari berbagai negara.

By : Mutia Hardhiyuna/NEF Scholar’s from UNJ

» Read Full Article

Si Kupu-kupu Cantik dari Bawah Laut

Snorkeling di Gili Lawang dan Gili Sulat yang lalu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi kami, karena kami menjumpai banyak biota laut yang unik-unik. Salah satu makhluk yang menarik perhatian kami (terutama saya) adalah ‘Nudicutie Nudibranch’. Menarik, karena ukuran tubuhnya yang mini dengan warna mantel yang cantik. Karena kecantikannyalah yang membuat banyak orang menganalogikan Nudibranch sebagai kupu-kupu bawah laut.
Nudibranch merupakan anggota dari kelas Gastropoda, subkelas Opisthobranchia (siput laut). Nudibranch termasuk Gastropoda yang tidak dilengkapi oleh cangkang untuk menutupi tubuhnya yang lunak, oleh karena itu Nudibranch dikenal sebagai siput telanjang (naked slug). Sekilas Nudibranch terlihat lemah tanpa perlindungan dari cangkang, namun pada kenyataannya, Nudibranch memiliki pertahanan-pertahanan khusus untuk melindungi tubuhnya yang lunak di lautan yang penuh dengan predator. Beberapa dari mereka ada yang mensekresikan asam dari sel epidermal khusus yang terdapat pada mantelnya, sehingga mereka tidak enak untuk dimakan (terutama bagi ikan). Selebihnya ada yang mampu mengeluarkan racun (toxic) yang diperoleh dari sponge yang mereka makan.
Warna tubuh (mantel) Nudibranch yang mencolok dan terang digunakan sebagai penanda bagi predator bahwa mereka berbahaya (beracun) sehingga tidak enak untuk dimakan. Selain itu berfungsi juga untuk bersembunyi dari predator dengan berkamuflase (penyamaran) menyerupai substrat yang mereka tempati. Warna mantel berasal dari apa yang mereka makan, misalnya pada red Nudibranch yang memakan red sponge.
Tidak adanya cangkang pada Nudibranch, menyebabkan mereka lebih bebas untuk bergerak, baik saat merayap di dasaran laut maupun saat berenang. Namun umumnya mereka bergerak lambat.
Phyllidia varicosa cukup familiar, dapat ditemukan di setiap belahan laut di dunia. Namun distribusi terbesarnya ialah di Indo-Pasifik, termasuk Indonesia. Yang menarik dari P. varicosa adalah corak mantelnya yang unik dengan latar belakang berwarna biru dan ornamen bintil-bintil kuning dan hitam disekelilingnya. Selain itu mereka tidak memiliki sepasang insang dorsal yang secara umum terdapat pada jenis Nudibranch yang lain.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nudibranch akan selalu menarik perhatian para diver saat melakukan diving maupun snorkeling. Bentuknya yang mini nan unik serta corak, warna dan ornamen pada mantelnya yang cantik terlihat seperti hasil kreasi dari pelukis berbakat. They are so colorful… Mungkin Gili Lawang dan Gili Sulat menjanjikan banyak jenis Nudibranch lain yang menunggu untuk dieksplorasi..­.^_^

Pengamatan yang kami lakukan di Gili Lawang dan Gili Sulat berhasil menjumpai salah satu jenis Nudibranch dari family Phyllidiidae yaitu Phyllidia varicosa.

Anggota dari family ini dapat dikenali berdasarkan mantelnya yang berbintil-bintil dan absennya insang dorsal. Semua Phyllidiidae adalah hermaprodit, yang berarti pada satu individu terdapat dua organ reproduksi, yaitu jantan dan betina.
Phyllidia varicosa cukup familiar, dapat ditemukan di setiap belahan laut di dunia. Namun distribusi terbesarnya ialah di Indo-Pasifik, termasuk Indonesia.
Yang menarik dari P. varicosa adalah corak mantelnya yang unik dengan latar belakang berwarna biru dan ornamen bintil-bintil kuning dan hitam disekelilingnya. Selain itu mereka tidak memiliki sepasang insang dorsal yang secara umum terdapat pada jenis Nudibranch yang lain.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nudibranch akan selalu menarik perhatian para diver saat melakukan diving maupun snorkeling. Bentuknya yang mini nan unik serta corak, warna dan ornamen pada mantelnya yang cantik terlihat seperti hasil kreasi dari pelukis berbakat. They are so colorful…

Mungkin Gili Lawang dan Gili Sulat menjanjikan banyak jenis Nudibranch lain yang menunggu untuk dieksplorasi.

By Acidz / Scholarship NEF
(Sumber : Nudibranchs and Sea Snails : Indopasific Field Guide).

» Read Full Article

Suaka Marga Satwa Muara Angke Sangat Memprihatinkan

Ketika hendak mengunjungi kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke di Jakarta Utara, pertama kali yang terbayang adalah rimbunnya pohon-pohon besar dari berbagai jenis vegetasi. Ingin rasanya bisa menghirup udara sejuk dan segar di kawasan tersebut. Tetapi kenyataan yang ditemui sungguh memprihatinkan.
Kawasan hutan konservasi yang seharusnya dilindungi itu dalam keadaan rusak. Begitu memasuki pintu gerbang yang lokasinya berada di dalam perumahan mewah Pantai Indah Kapuk (PIK), terlihat tumpukan sampah berserakan di mana-mana. Sampah plastik dan serasah lain terlihat menyangkut di akar-akar mangrove, sampah memang menjadi faktor perusak utama kawasan tersebut. Sampah yang hanyut di sungai sulit dibendung.
Akibat banyaknya sampah yang menumpuk di kawasan itu, banyak pohon yang sulit tumbuh dengan baik. Ada tanaman pidada yang ditanam sejak tahun 1999, tetapi sampai sekarang tidak bisa tinggi karena perakarannya tak mendapat oksigen dengan baik.
Bukan hanya itu, tanah tempat tumbuhnya mangrove juga sudah berubah menjadi hitam pekat akibat tercemar minyak, oli, dan limbah domestik. Bahan-bahan pencemar masuk ke kawasan SM Muara Angke melalui Kali Angke. Bau busuk menyengat. Kondisi Kali Angke sendiri sudah sangat tercemar. Air sungai berwarna hitam pekat dan berbau busuk. Aliran sungai yang melintasi pinggiran SM. Muara Angke juga dipenuhi tumpukan sampah yang terapung-apung seperti "pulau" hanyut. Sampah yang dikirim dari hulu berikut bahan-bahan pencemar lainnya masuk ke kawasan SM. Muara Angke ketika air laut sedang pasang naik. Karena tidak pernah dibersihkan dan ditangani dengan serius, sampah yang menumpuk itu membusuk, sedangkan bahan pencemar yang masuk semakin mengendap ke dalam tanah.
Dalam kondisi lingkungan seperti itulah ratusan satwa liar yang sudah sulit ditemui di Jakarta harus menggantungkan hidupnya. SM. Muara Angke yang luasnya tinggal 25,02 hektar itu menjadi tempat hidup 76 jenis burung, 17 jenis di antaranya termasuk satwa yang dilindungi. Jenis burung yang paling mudah ditemui adalah kareo padi (Amaurrornis phoenicurus), kuntul (Egretta spp), pecuk (Phalacrocorax spp), belibis (Dendrocygna spp), dan raja udang (Todirhampus spp).
Di kawasan ini juga terdapat jenis burung endemik Pulau Jawa, yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus). Selain dilindungi undang-undang, burung ini juga dilindungi oleh aturan internasional karena termasuk dalam kategori rentan. Banyak peneliti dari luar negeri datang ke kawasan SM. Muara Angke untuk meneliti jenis burung tersebut.
Selain burung, satwa yang sering ditemukan adalah biawak (Varanus salvator) dan berbagai jenis ular seperti sanca (Python reticulatus) dan kobra (Naja sputatrix). Di tempat itu juga ada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang saat ini jumlahnya lebih kurang 60 ekor, serta berang-berang (Aonix cinnerea).
Sedangkan monyet ekor panjang yang biasanya berseliweran sekarang ini memilih bergerombol di pinggir hutan yang berbatasan dengan Kali Angke. Sebab, mereka mulai kesulitan mencari makan akibat banyak pohon mangrove yang rusak. Puluhan monyet itu harus mencari makan dengan cara mengais sampah yang ada di pinggir kali. Sering kali monyet-monyet itu memberanikan diri mendekati perahu-perahu nelayan yang bersandar di pinggir kawasan SM. Muara Angke. 

Mereka mencuri makanan dari nelayan. SM. Muara Angke merupakan bagian dari hutan Angke Kapuk yang total luasnya 1.154,88 hektar. Sebagian besar kawasan hutan Angke Kapuk sudah dikuasai PT. Mandara Permai.
Meski dikelola banyak instansi, kawasan SM Muara Angke dan kawasan hutan lindung lainnya di Pantai Jakarta dan Kepulauan Seribu belum juga menunjukkan perbaikan yang berarti.
Empat instansi yang mengelola kawasan suaka margasatwa dan hutan lindung di DKI adalah BKSDA DKI, Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI dan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Sayangnya, masing-masing instansi masih berjalan sendiri-sendiri. Kalau sudah begitu, kebijakan yang diturunkan di lapangan menjadi tidak konsisten, malah cenderung kacau karena masing-masing punya kepentingan.
Akankah kita biarkan terus kerusakan ekosistem mangrove di kawasan SM. Muara Angke ? Jawabnya, tergantung kepada kepedulian kita bersama. (dikutif dari berbagai sumber)

By : Handayani/Volunteer LEMBAR

» Read Full Article

KAJIAN MEKANISME DAN FISIOLOGI TERBANG Capung Anisoptera

Capung merupakan anggota kelas serangga dan termasuk dalam ordo Odonata. Pada kedua tingkat kehidupannya (nimfa dan dewasa), capung adalah predator serangga yang menempati tingkat teratas rantai makanan.
Manning (2004) menyebutkan terdapat sekitar 5000 jenis capung di seluruh dunia. Indonesia memiliki 750 jenis capung, beberapa diantaranya endemik di Sulawesi, misalnya Gynacantha penelope subfamili Aeshnidae (Susanti, 1998; Paulson, 2003).
Capung memiliki kemampuan terbang yang cepat, akurat dan terhebat di dunia hewan. Dilengkapi dengan dua pasang sayap yang masing-masing dapat mengepak secara independen, capung tidak hanya mampu terbang dengan cepat, tetapi juga mampu bergerak mundur, menghentikan terbangnya secara mendadak, lalu mengapung sejenak di udara, untuk kemudian mengubah arah dan melesat dengan cepat ke arah lain. Capung mampu menempuh perjalanan dengan kecepatan mencapai 60 km/jam dengan gerakan yang lincah dan gesit (Putra, 1994; Imes, 2000; Silsby, 2004).
Dalam siklus hidupnya, capung mengalami beberapa kali perubahan bentuk sederhana untuk mencapai dewasa, yang disebut metamorfosis heterometabola (Suzuki, 1992). Penyimpangan terbesar metamorfosis heterometabola terdapat pada Odonata dengan stadium pradewasa hidup di air, disebut hemimetabola. Secara umum capung memiliki fase-fase kehidupan yang meliputi: telur - nimfa - dewasa (Partosoedjono, 1985).


Gambar 1 Siklus Hidup Capung (Susanti, 1998)

Para ekolog melihat capung sebagai se rangga bioindikator kualitas lingkungan. Artinya capung dapat digunakan untuk memantau kualitas air di sekitar lingkungan hidup kita. Jadi secara tidak langsung kehadiran capung dapat menandakan bahwa perairan di sekitar kita masih bersih (Susanti, 1998).
Selain peran alami capung di alam, keberadaan capung dapat memiliki arti tersendiri di Indonesia misalnya, kemampuan gerak capung menjadi dasar inspirasi seni tari. Di Jepang menganggap capung sebagai lambang kejayaan dan semangat. Mosquito hawk adalah julukan capung di Amerika karena merupakan predator utama nyamuk. Berbeda dengan Eropa yang menganggap capung sebagai pengganggu. Padahal capung adalah jenis yang sama sekali tidak berbahaya (Grzimek, 1975; Hoeve, 1996; Trueman dan Rowe, 1997; Susanti, 1998; Manning, 2004).
Kemampuan Terbang
Serangga memiliki kemampuan terbang pada berbagai tingkat kecepatan. Capung dengan ukuran yang relatif besar mampu menempuh kecepatan hingga 58 km/jam dengan frekuensi kepak sayap yang tergolong rendah yaitu 20-30 bps (beat per second). Hal ini menandakan efisiensi energi pada capung, dibandingkan lebah madu yang memiliki kecepatan 15 km/jam dengan frekuensi kepak 280-310 bps atau pada lalat dengan frekuensi kepak sayap 180-200 bps (Davies, 1992; Borror, 1996; Manning, 2004).
Kemampuan terbang pada capung didukung penuh oleh karakteristik organ-organ yang dimiliki. Keseluruhannya memberikan kontribusi terhadap capung untuk memanuver-manuver gerakan secara cepat dan tepat serta berkaitan erat dengan mekanisme terbang yang membutuhkan pengendalian cekatan (Putra, 1994). Organ-organ yang berperan penting dalam medukung fungsi terbang antara lain: sayap, otot-otot terbang, mata, abdomen dan organ sensor.
Mekanisme Terbang
1. Persiapan terbang
Capung aktif terbang antara pukul 08.00-10.00 dan selalu mengawali terbang dengan mekanisme menghangatkan otot-otot terbang dan mengumpulkan cahaya matahari (Ross, 1968; Imes, 2000; Aswari, 2003).
2. Lepas Landas (take off)
Suhu internal optimal merupakan stimulan yang kuat untuk memulai terbang (lepas landas). Selain itu organ visual juga berperan terutama dalam menentukan posisi yang tepat untuk memulai terbang (Nayar, 1976; Rainey, 1976).
3. Kepak ke atas dan ke bawah
Tiap pasang sayap mengepak secara independen. Gerak sayap ke atas disebabkan kontraksi otot vertikal di dalam toraks yang bekerja secara tidak langsung sedangkan gerak sayap ke bawah dihasilkan oleh kontraksi otot pada dasar sayap secara langsung (Barnes, 1990).



Gambar 2. Mekanisme Pergerakan Sayap (Nachtigall, 1968)

4. Gaya aerodinamis
Gaya aerodinamis adalah gaya yang bekerja di udara yang dihasilkan saat udara bertiup di atas. Secara keseluruhan, hasil akhir yang diperoleh adalah sayap mampu membelokkan massa udara dan mempercepat terbang (Nachtigall, 1968).
5. Frekuensi dan irama kepak sayap
Frekuensi kepak sayap bervariasi dari satu jenis ke jenis lain, bahkan pada individu yang sama pada waktu yang berbeda (Imes, 2000). Setiap jenis juga memiliki frekuensi resonansi yang spesifik sehingga dapat meminimalkan kebutuhan energi (Murdoch, 2002).
Perkiraan tentang rataan frekuensi kepak sayap dapat diperoleh secara acoustic: tingkatan suara yang dihasilkan sayap, kymograph: berhubungan dengan sinematografi atau dengan metode stroboscopic: fotografi kecepatan tinggi (Gardiner, 1972).
6. Pengaturan sayap depan dan sayap belakang
Sayap bekerja lebih efisien saat udara tidak bergolak. Gerak independen kedua pasang sayap menimbulkan masalah karena kepak sayap menghasilkan perputaran/ pergolakan udara dengan menciptakan daerah bertekanan udara rendah di depan dan bawah tubuh, serta meningkatkan tekanan udara di bagian belakang dan bawah tubuh (Gardiner, 1972).
Capung mengembangkan tipe penerba ngan efisien untuk mengatasi perputaran udara yang diakibatkan oleh pasangan sayap anterior, yaitu dengan melakukan pembalikan urutan kepak sayap. Pasangan sayap posterior dikepakkan terlebih dahulu sehingga bertemu dengan udara yang belum terganggu oleh gerakan pasangan sayap anterior (Gambar 13) (Wigglesworth, 1998; Blum, 1985).



Gambar 3. Gerak Ujung-ujung Sayap Capung
( Nachtigall, 1968)
7. Gerakan ujung sayap
Gerakan ujung sayap pada serangga umumnya dapat dianalogikan sebagai “Gerak Harmonis Sederhana” dimana panjang saat kepak ke atas dan ke bawah relatif sama. Me nyimpang dari hal ini, capung memiliki kepak ke bawah lebih pendek. Hal ini dapat berubah sewaktu-waktu dan terjadi karena tuntutan aerodinamis (Gambar 13) (Murdoch, 2002).
8. Meluncur (gliding)
Capung adalah peluncur ulung yang dapat mempertahankan peluncuran hingga jarak cukup jauh. Hal ini merupakan kehebatan tersendiri karena capung harus memperoleh keseimbangan yang tepat di antara kedua pasang sayap yang tidak terkait dan bergerak secara independen (Nachtigall, 1968).
9. Mengubah arah terbang
Capung memiliki tiga cara utama untuk merubah arah saat terbang, pertama dengan memvariasikan frekuensi masing-masing sayap secara independen. Kedua gerak amplitudo sayap membuat salah satu sisi tubuh lebih ringan. Terakhir adalah dengan merubah orientasi, sayap capung memperoleh percepatan sudut vektor yang berbeda sehingga dapat merubah arah (Murdoch, 2002).
Ketiga proses ini memungkinkan terja dinya perubahan arah secara cepat. Capung tidak memilih salah satu dari metode setiap saat, tetapi memilih dan menggunakan di antara ketiganya secara random (Murdoch, 2002).
10. Mendarat (landing)
Kaki-kaki capung merapat ke tubuh ketika terbang, tetapi sesaat sebelum mendarat, kaki-kaki membentang ke depan sehingga capung dapat mendarat di atas keenam kakinya (Nayar, 1976).
Fisiologi Terbang
Terbang bergantung pada beberapa faktor : Cahaya matahari, kelembaban dan suhu lingkungan adalah faktor pembatas di alam. Faktor internal seperti : suhu tubuh, perkembangan otot-otot terbang, ketersediaan sumber energi, aktivitas makan dan status reproduksi juga berpengaruh terhadap terbang. Oleh karena itu, capung harus mengendalikan penggunaan energi, mengatur kecepatan, memanfaatkan angin dan mengatur suhu tubuh pada saat yang bersamaan (Nayar, 1976; Barnes, 1990).
Pengendalian Terbang
Pengendalian terbang capung berlangsung dari dalam ke luar, disebut “ritme endogenus”. Peran organ-organ eksternal secara prinsip terbatas sebagai pemberi informasi tentang gaya aerodinamis udara selama terbang, pengatur kecepatan terbang dan pengendali sikap tubuh saat di udara (Nachtigall, 1968).
Capung mengendalikan keseimbangan (equilibrium) dengan menggunakan tiga reaksi yang berbeda: [1] respon dorsal yang ringan, [2] reaksi optomotor (alat untuk menstabilkan posisi rotasi kepala saat melihat) yang baik terhadap pola penglihatan umum, [3] dan stimulasi reseptor (dynamic organ) pada leher oleh titik pusat (inertia) kepala (Wigglesworth, 1998).
Singkatnya, capung merupakan serangga terbang pertama yang ada di muka bumi. Secara struktural karakter yang dimiliki merupakan hasil pengembangan karakter primitif menjadi karakter yang terspesialisasi untuk mendukung fungsi terbang.
Kelebihan utama yang dimiliki oleh capung adalah perpaduan kompleks antara mekanisme, fisiologi serta teknik yang baik sehingga membentuk sebuah fungsi kerja yang efektif dan efisien. (dikutif dari berbagai sumber).
By : Dewi Suprobowati / Volunteer LEMBAR)

» Read Full Article

Lombok kami DATANG

Lembar, sebagai salah satu wadah bagi mahasiswa Biologi penerima beasiswa Nagao NEF mencanangkan sebuah program ”Marine Expedition” di Lombok Timur yang berlangsung selama 2 minggu (16-30 Januari 2007). Seperti apakah kegiatan ini berjalan? Mari kita ikuti hasil liputannya …..

Sistem seleksi diterapkan disini, untuk menentukan 5 peserta sebagai perwakilan dari setiap kampus (Univ. Negeri Jakarta, Univ. Indonesia, Univ. Nasional, Univ. Islam As-Syafi’iyah dan Univ. Pakuan). Kriterianya antara lain: Aktif sebagai mahasiswa di kampus masing-masing, mempunyai pengalaman dibidang kelautan, bias berenang, nilai GPA diatas 2,5 dan tidak sedang menderita tertentu. Setelah lolos kriteria tersebut diatas dan melalui proses wawancara, lima mahasiswa dipilih sebagai peserta ekspedisi, yaitu : Fika Afriyani (UI), M. Astrid K. N (UI), Rahmalia Nurul (UNAS), Wahyuni B. (UIA) dan Dwi Widyanti O. S. (UIA).

Ekspedisi kali ini dibagi menjadi 2 tim pengamatan, yaitu Marine Botany & Invertebrate. Komposisi dari kedua tim ditentukan oleh fasilitator, yakni: Fika & Wahyuni termasuk tim Marine Botany, sedangkan Astrid, Lia dan Dwi sebagai tim Invertebrate. Pelaksanaan program juga diikuti oleh peserta lokal dari Komunitas 2 Pulau (K2P) demi mempererat tali persaudaraan serta saling tukar-menukar informasi dalam memperkaya ilmu pengetahuan Biologi khususnya bidang kelautan.

Sebenarnya program ini memiliki dua tujuan penting, bukan hanya untuk memperoleh data dari hasil penelitian biota laut, tetapi juga membawa visi dan misi sosial. Maksudnya adalah untuk membangun komunitas sosial berbasis konservasi lingkungan, dengan harapan terciptanya kelestarian alam laut di sekitar lokasi penelitian, yaitu Gili Sulat dan Gili Lawang. Hal ini dilakukan karena kami menyadari bahwa masyarakat lokal amat berperan penting terhadap keberlangsungan habitat laut disekitarnya, sebab keseharian mereka bersentuhan langsung dengan sumber daya alam laut Gili Sulat dan Gili Lawang.

Penelitian berlangsung selama 4 hari (18-21 Januari 2007). Stasiun penelitian (8 Stasiun) ditentukan berdasarkan empat arah mata angin dari Gili Sulat dan Gili Lawang. Setiap stasiun hanya terdiri dari satu titik (tidak dilakukan pengula ngan) disebabkan pertimbangan cuaca yang kurang memadai untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Metode yang dipilih oleh kedua tim ialah Belt transect dan Line Intercept Transect (LIT). Belt transects dipilih oleh tim Marine Botany dengan menarikan garis transek sejajar garis pantai sepanjang 50 meter dan lebar kanan-kiri transek sejauh 3 meter. Tim Invertebrate yang menggunakan metode LIT membentangkan transeknya sepanjang 70 meter dengan lebar kanan-kiri 1 meter sejajar dengan tubir di kedalaman sekitar 1-2 meter.

Sebelum ditentukannya titik pengamatan, kedua tim melakukan penelusuran daerah sekitar stasiun yang dianggap memadai untuk memperoleh data yang bervariasi. Disela-sela waktu, kami tidak mau meninggalkan kesempatan yang langka ini untuk ber-pose di depan kamera to say cheese… bersama kekayaan laut Gili Sulat dan Gili Lawang Lombok Timur.

Setiap malamnya, data yang diperoleh dikumpulkan sampai pada akhirnya dianalisis, rekapitulasi, dibahas dan dievaluasi perkembangannya. Tim Marine Botany melakukan sampling beberapa makroalga dan lamun yang belum bisa diidentifikasi secara langsung. Sedangkan tim Invertebrate tidak melakukan sampling, tetapi mendokumentasikan setiap biota yang termasuk ke dalam data, untuk kemudian diidentifikasi sekembalinya di Jakarta.

Hasil sementara menunjukkan bahwa tim Marine Botany berhasil mengklasifikasikan data yang diperoleh menjadi 3divisi (Chlorophyta, Rhodophyta dan Phaeophyta) dari golongan makroalga (seaweed) dan 7 genus yang termasuk ke dalam golongan lamun (sea grass). Tim Invertebrate mengelompokkan datanya dalam tingkatan kelas, mereka berhasil memperoleh 6 kelas dari total individu 365 di Gili Lawang. Di Gili Sulat diperoleh 8 kelas yang terdiri dari 433 individu. Biota Invertebrate yang diamati hanya dibatasi dari 3 filum, yaitu : Annelida, Echinodermata dan Mollusca.
Menurut hasil pengamatan kami, kondisi terumbu karang di lokasi penelitian telah mengalami banyak perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti membom, membius, penggunaan potasium, memanah dan cara-cara eksploitasi lainnya sebagai penyebab hancurnya habitat. Kemungkinan hal ini terjadi karena mata pencaharian penduduk sekitar kawasan yang mayoritas sebagai nelayan menggantungkan perekonomian terhadap hasil alam laut, baik itu ikan konsumsi, ikan hias, ataupun biota laut lainnya yang berpotensi untuk menghasilkan pendapatan mereka.

Melihat kondisi ini, kami merasa berkepentingan untuk menyadartahukan mereka mengenai nasib ekosistem terumbu karang di masa depan. Setidaknya dengan meng ikutsertakan beberapa penduduk lokal dalam program kami inilah, diharapkan adanya transfer informasi terhadap potensi dan ancaman di Gili Sulat dan Gili Lawang.

Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, kedua tim yang tinggal menetap sementara di rumah penduduk (home stay) menyampaikan hasil penelitiannya dalam bentuk presentasi sederhana kepada masyarakat dusun Dasan Baru yang kami undang dalam acara farewell party sebelum kami kembali ke Jakarta. Presentasi ini juga menyisipkan pesan penting untuk lebih peduli dan menjaga alam laut sekitar kawasan yang tentunya amat berguna bagi keseharian mereka.

Farewell party ini juga mengagendakan visi dan misi sosial yang dibawa, yakni untuk mencoba membangun komunitas berbasis konservasi lingkungan. Mai Anzai sebagai volunteer Lembar membantu kami dalam hal penyampaian bagaimana cara menangani tamu yang datang ke home stay melalui cerita bergambar. Beberapa contoh kasus yang digambarkan adalah mengenai kebersihan lingkungan, sanitasi air, penyediaan toilet, menu makanan tradisional yang bervariasi, pengadaan listrik, hasil karya kerajinan tangan yang bisa dijadikan buah tangan bagi para tamu serta hal-hal menarik lainnya.

Acara puncak yang tentunya telah dinantikan adalah makan bersama dengan menu yang telah dipersiapkan oleh kami beserta ibu-ibu sekitar home stay. Hidangan utamanya ialah ikan bakar dengan bumbu kecap yang mmm….. menggugah selera. Tidak jauh dari perkiraan bahwa semua hidangan tak tersisa sedikitpun hingga kami hampir tidak sempat untuk ikut menikmati kelezatannya.

Bukan berarti farewell party ini menuntaskan semua kegiatan kami. Keesokan paginya kami berkumpul bersama Ibu, bayi dan balita di Posyandu terdekat untuk mensosialisasikan pentingnya asupan gizi yang cukup bagi sang Ibu, bayi dan balita. Kami hanya mampu menyediakan sedikit bingkisan berupa bubur kacang hijau dan biskuit yang cukup mewakili sebagai contoh menu yang bergizi tetapi terjangkau.

Sisa hari yang ada kami gunakan untuk berkunjung ke beberapa sekolah terdekat, seperti Madrasah Ibtida’iyah Nahdatul Waton dan SDN Tekalok (filial). Masih bersama peserta dari K2P, kami berkolaborasi untuk menyampaikan pesan konservasi sedini mungkin kepada siswa-siswi lokal dengan cara bernyanyi, bermain, mendongeng, mewarnai dan menggambar. Mereka terlihat sangat antusias dan terasa haus akan informasi dari luar sekolah. Kami merasa beruntung bisa mengikuti program ini yang begitu sarat dengan manfaat dan wawasan.

Kunjungan kami yang lain yang tidak kalah menariknya adalah menelusuri kawasan pasca banjir bandang di Blanting tahun lalu. Masih jelas terlihat sisa-sisa kerusakan yang belum ditanggulangi, tetapi sudah banyak pula ba- ngunan-bangunan baru sebagai pengganti tempat tinggal penduduk yang habis tersapu oleh banjir.

Belum lengkap rasanya jika tiba di pulau Lombok, tetapi tidak menginjakkan kaki di Taman Nasional Gunung Rinjani. Alhamdu lillah, lagi-lagi kami merasa beruntung dapat merasakan udara segar kawasan gunung Rinjani, walaupun hanya di lerengnya saja. Kami menyempatkan diri untuk menuju ke lokasi air terjun terdekat yang diberi nama air terjun Sindang Gila. Ternyata di dekat lokasi air terjun ini ada sebuah terowongan yang didesain sebagai objek pariwisata yang menarik. Kami berjalan disepanjang terowongan dengan aliran arus air yang cukup deras, sehingga langkah kamipun begitu tertata sambil menikmati perjalanannya yang tak terlupakan.

Rasanya belum cukup kami menggambarkan asyiknya perjalanan kami ini, tetapi waktu memang terbatas dan mungkin kelak kita masih bisa berbagi di cerita baru yang lebih dan semakin menantang…..

(By : Endah Susianti)

» Read Full Article

Mengenal Badak

Di dunia terdapat lima jenis badak yang masih hidup, yaitu Diceros bicornis (black rhinoceros atau badak hitam), Ceratotherium simum (white rhinoceros atau badak putih), Rhinoceros unicornis (badak India), Rhinoceros sundaicus (badak Jawa) dan Dicerorhinus sumatrensis (badak Sumatera).
Badak Jawa yang kita ketahui saat ini hanya tersisa di Semenanjung Ujung Kulon, dengan populasinya yang sangat terbatas yaitu 40-50 ekor, badak Jawa sebelumnya menempati penyebaran yang cukup luas meliputi Bengal sampai Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Pulau Sumatera, dan Pulau Jawa.
Badak Sumatera mengalami nasib yang lebih baik dilihat dari populasinya, namun ancaman kepunahan untuk jenis badak Sumatera ini juga semakin meningkat. Populasi di dunia berkisar 400-700 ekor, dengan kehilangan populasi setiap tahunnya mencapai 10 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir angka penurunan populasi meningkat hingga mencapai 50%. Di  Sumatera populasinya ditaksir sekitar 200-300 ekor tersebar di Taman Nasional Gunung Leuseur, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN Nasional Way Kambas.
Aktivitas manusia merupakan acaman potensial kelestarian badak Sumatera di masa mendatang. Faktor utama rendahnya populasi badak sumatera di dunia adalah perburuan liar, perdagangan cula badak, yang sesungguhnya sudah dilarang secara internasional, diduga menjadi penyebabnya. Harga cula yang tinggi membuat para pemburu nekat melanggar peraturan. Selain itu konversi lahan, penebangan liar, dan perambahan hutan. Badak-badak itu terdesak dan semakin terisolasi (doomed) dari habitat aslinya. Jumlah ini tidak memungkinkan bagi badak Sumatera untuk berkembang biak secara alami atau tidak memiliki viabilitas dalam jangka panjang.

» Read Full Article

Penyakit Sayap & Paruh Pada Burung Paruh Bengkok

Penyakit sayap dan paruh pada burung berparuh bengkok (PSPB) telah diketahui pada tahun 1975 oleh Dr. Ross Perry, Sidney.
Penyakit ini menular dan menjangkiti burung yang termasuk dalam famili Psitaciformes (atau lebih umum dikenal dengan sebutan burung paruh bengkok). 

PSPB disebabkan oleh virus yang termasuk famili Circoviridae. Struktur molekul genom virus ini kira-kira 2.000 kaki, sirkular, DNA single strand. Circovirus dikenal merupakan virus terkecil dengan ukuran 14-19 nm. Virus PSPB sangat menyerupai Circovirus Porcine dan juga virus-virus pada beberapa tanaman seperti virus Banana Bungy. Infeksi fatal umumnya menyerang burung muda, sedangkan pada burung yang lebih dewasa memiliki efek tidak berlanjut.

Gejala
Burung yang terkena virus ini akan kehilangan bulu, pertumbuhan bulu tidak normal, bulu berkurang, Powder Down yang berkurang, paruh abnormal, luka simetris pada paruh, paruh retak bahkan patah, pada kuku juga terdapat luka.
Penurunan kekebalan tubuh, kehilangan berat badan secara drastis, dan kemungkinan mengalami depresi pada tingkat tertentu.
Masuknya kuman sekunder, fungi, bakteri atau infeksi parasit biasanya dapat terjadi akibat menurunya system imun akibat dari infeksi PSPB.

Penularan
PSPB dapat menular dari satu burung ke burung lain, namun penyakit ini tidak bersifat zoonosis (penyakit hewan yang menular ke manusia). Penularan penyakit ini dapat melalui kontak langsung, terhirup dalam udara, makanan, terinfeksi materi feses, dan debu-dari bulu. Virus juga dapat menyerang melalui kontaminasi luar seperti dari burung carrier, formula makanan, peralatan makan, pakaian dan materi-materi yang terdapat di kandang.
Partikel kuman, bila tidak dihancurkan dapat terus bertahan dilingkungan selama beberapa bulan setelah infeksi pada burung telah selesai.

Pencegahan
Peternak burung harus mengontrol kondisi burung-burung yang ada, agar terbebas dari PSPB dan membiarkan burung-burung yang terinfeksi tetap dalam karantina.
Penggunaan desinfektan yang tepat diperlukan sehingga virus dan lalat yang terkontaminasi tidak aktif. Kandang serta ruangan harus diberi desinfektan. PSPB sulit untuk dikarantina. Burung-burung carrier terlihat normal secara klinis tetapi melahirkan keturunan yang berpenyakit. Untuk itulah perlu membiarkan burung dikarantina.
Isolasi secara ketat terhadap semua burung yang terkena penyakit merupakan cara agar laju penularan penyakit dapat terhenti. Tes DNA merupakan salah satu cara agar setiap spesies tidak terinfeksi.

PSPB di Indonesia
Laporan mengenai wabah penyakit ini di Indonesia masih sangat rendah, apalagi studi spesifik tentang penyakit ini. Padahal informasi mengenai penyakit ini pernah tercatat di beberapa lokasi seperti di klinik drh. Ida Lestari Soedijar, PPS Tegal Alur dan penagkaran burung di Sukabumi. Penyakit mematikan bagi burung paruh bengkok ini bukan tidak mungkin banyak menjakiti burung paruh bengkok di kandang penangkaran di Indonesia. Namun rendahnya pengetahuan dan informasi mengenai penyakit ini menjadikan tidak terpublikasi luas.

» Read Full Article

Siapa yang Berhak atas SDA


Sumberdaya alam yang kaya secara teori harusnya memberikan kekayaan pula bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan teori tersebut, suberdaya alam yang kaya justru memakmurkan golongan tertentu yang dalam mata rantai ekonomi berada di urutan kedua dan seterusnya, sementara masyarakat sekitar hanya sebagai pekerja (buruh) yang mendapat nilai ekonomi paling sedikit.

Potensi kekayaan yang terkandung di wilayah pesisir berupa bahan bio aktif yang terkandung didalam tubuh biota laut merupakan bahan baku bagi industrui farmasi, kosmetika, pangan dan industri bioteknologi lainya sampai saat ini belum dikelola secara maksimal dan memberikan kesejahteraan bagi manusia disekitarnya. Ini merupakan ironi yang nyata sementara menurut pakar bahwa industri bio teknologi adalah merupakan industri masa depan.

Teluk Jor seperti juga kawasan pesisir timur kabupaten Lombok Timur menyimpan potensi sumberdaya alam yang tingi. Di sepanjang pantai Lombok Timur bagian timur adalah merupakan kawasan mangrove yang dapat memberikan nilai eklonomi yang besar bagi masyarakat sekitarnya. Potensi tersebut dalam beberapa tahun terakhir, mengalami ancaman serius berupa makin berkurangnya luasan kawasan mangrove akibat alih fungsi dan kerusakan lainya.
Kawasan teluk Jor terletak di desa Jerowaru saat ini merupakan kawasan yang di penuhi dengan keramba jaring apung tempat pembesaran udang Lobster laut. Secara ekonomi komoditas ini dapat memberikan kesejahteraan jika dinilai dari harga jual di pasaran.
Demikaian pula dengan kawasan mangrove di Gili sulat dan Gili trawang yang berada di desa Sugian dipandang sebagai sumber kebutuhan untuk kayu bakar dan pewarna jaring.

Ekonomi Konservasi
Aspek konservasi sering berbenturan dengan kepentingan ekonomi, Indonesia sebagai negara yang mempunyai keanekeragaman hayati yang tinggi mempunyai persoalan besar dalam ekonomi versus konservasi. Ada banyak konsep pendekatan pengelolaan PSDA yang coba dikembangkan baik oleh Pemerintah maupun LSM serta kearifan masyarakat lokal yang memang sudah ada sejak dulu, tetapi kembali ke persoalan kemajemukan budaya maka konsep yang telah ada hanya dapat dikembangkan di wilayah tertentu saja.


Mangrove sebagai fungsi penyangga kawasan pesisir tidak terkecuali dikawasan teluk Jor harusnya dapat dinilai secara ekonomi dalam jangka panjang oleh masyarakat sekitar sehingga pemamfaatan kawasan sekitar harus memperhatikan aspek keberlanjutan kawasan mangrove yang ada. Seperti pada umumnya di daerah pesisir Lombok timur kawasan mangrove banyak di konversi untuk tambak, Teluk Jor juga tidak lepas dari persoalan tersebut. Sebagian masyarakat sekitar memanfaatkan kawasan teluk tersebut untuk menangkap beberapa jenis ikan konsumsi maupun untuk pakan bagi Lobster dalam kejapung. Disamping itu fungsi kawasan mangrove bagi masyarakat nelayan kejapung adalah menekan laju suplai air tawar dan limbah secara langsung dalam teluk yang dapat mempengaruhi udang lobster yang berada dalam kawasan teluk.

Memaksimalkan Pengelolaan SDA
Hutan mangrove sebagai ekosistem utama pendukung kehidupan kawasan pesisir mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrient bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai jenis biota, penahan abrasi dan tsunami, penyerap limbah, dan lain sebagainya. secara ekonomis hutan mangrove berfungsi penyedia kayu, bahan obat-obatan, makanan.
Masyarakat kawasan teluk Jor telah lama mengembangkan usaha pembesaran udang lobster air laut. Sejauh ini usaha yang mereka kembangkan bersifat statis ini dapat dilihat dari kondisi ekonomi masyarakatnya. Seharusnya usaha ini telah memberikan kesehjahteraan yang baik bagi mereka. Hal ini dapat dimaklumi kerena pendekatan teknologi bagi mereka tidak ada sama sekali. Dalam melakukan usaha ini mereka hanya mengandalkan keburuntungan semoga bibit yang mereka tanam dapat hidup semua. Sementara kawasan mangrove yang berada di Gili Sulat dan Gili Trawang belum dikelola secara maksimal untuk wisata oleh masyarakat sekitarnya. Pengelolaan kelembagaan untuk ekowisata perlu dibangun dengan melibatkan peran aktif masayarakat sekitarnya.

Kesadaran Konservasi
Ekosistem yang baik adalah adanya sebuah kesimbangan alam. Manusia sangat tergantung dengan kondisi alam. Hal inilah yang harus ditekankan kepada masyarakat bangsa ini yang sangat bergantung dengan kekayaan dan keramahan alam. Pelestarian lingkungan megandung 2 aspek penting yaitu pelestarian fungsi dan pelestarian lingkungan itu sendiri. Dalam kerangka program koservasi mangrove di Lombok Timur, Lembar lebih menekankan pada aspek pelestarian fungsi kawasan mangrove untuk meningkatkan kesehjaheteraan masyarakat sekitarnya.

» Read Full Article

Program Lembar

1. Beasiswa NEF
Program ini merupakan kerjasama dengan Nagao Environment Foundation sebuah lembaga dari Negara Jepang dalam bentuk pemberian bantuan beasiswa untuk mahasiswa jurusan/program studi biologi di beberapa universitas Indonesia.
Hingga saat ini melalui program tersebut telah memberikan bantuan kepada sekitar 400 orang mahasiswa di 5 Universitas (UI, UNJ, Unas, UIA dan Unpak). 
Dalam pelaksanaan program ini terdapat dewan komite yang terdiri staf dari masing masing Universitas yang berfungsi sebagai pengawas dan penyeleksi penerima bantuan beasiswa.
2. Pendidikan Lingkungan
Perubahan lingkungan telah berdampak pada tekanan terhadap bumi yang semakin kuat. Lembar membuat beberapa kegiatan seperti:
Seminar dan Pameran berkerjasama dengan Unas dengan tema “Pemanasan Global” pada tanggal 17 Desember 2005.
Ex-change program, yaitu mahasiswa Indonesia dan Jepang melakukan pendidikan lingkungan di TNGH, Sulawesi & Sumatera. 
3. Peningkatan Kapasitas 
Pengelolaan SDA
Program ini berusaha untuk meningkatkan kapasitas 
masyarakat dalam pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan serta mendorong para pihak dalam kemitraan bersama. Program yang telah berjalan diantaranya:
Program pengembangan areal model Pengelolaan SDA berbasis masyarakat, di Desa Cipeuteuy di TNGH & Desa Jerowaru di Lombok Timur NTB.
Program pengembangan media advokasi pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Melalui program ini telah di fasilitasi pengembangan radio berbasis konservasi di beberapa wilayah yaitu Tondano, Toraja, Cipeuteuy dan Lombok Timur.

» Read Full Article

Dari Redaksi

Salam lestari, 
Kondisi bumi yang makin memperihatinkan seharusnya menjadikan kita sadar untuk segera merubah cara kita dalam memperlakukan bumi ini.
Sebagai lembaga yang mampunyai misi konservasi, Lembar akan terus berupaya memberikan dukungan terhadap upaya penyelematkan lingkungan untuk kelangsungan kehidupan umat manusia.
Dengan terbitnya Buletin ini diharapkan dapat mengingatkan kita akan kondisi bumi yang semakin memperihatinkan. Selamat buat teman-teman yang telah berusaha untuk menerbitkan Buletin ini semoga dapat bermamfaat buat keberlanjutan kehidupan di bumi ini.
Selamat Berjuang!!!

» Read Full Article

Sarasehan NEF


Sarasehan tahunan NEF yang keenam semenjak dimulainya program ini di tahun 2000 dilaksanakan di Universitas Nasional, pada tanggal 19 November 2005.
Jumlah Mahasiswa penerima beasiswa Nagao NEF angkatan 2005 adalah 48 Mahasiswa, dimana 40 Mahasiswa berasal Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Nasional (Unas), Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), dan Universitas Pakuan (Unpak), sementara 8 Mahasiswa lainnya berasal dari Nangroe Aceh Darusalam, yang saat ini melaksanakan kuliah di UIA.
Sarasehan tahun ini dihadiri oleh Bp. Effendi Sumardja selaku ketua Komite Beasiswa NEF di Indonesia, Bp. Hiroshi Kobayasi sebagai perwakilan dari Jepang, Komite NEF dari seluruh Universitas penerima beasiswa NEF, Sekretariat NEF, dan seluruh mahasiswa penerima beasiswa NEF. Kita berharap, program beasiswa ini akan tetap terus berjalan dan dapat ikut membantu program konservasi alam di Indonesia. 

» Read Full Article

Mengamati Burung


Kode Etik Pengamatan
Ada beberapa hal yang harus dipatuhi dalam mengamati burung oleh setiap pengamat, yaitu:
Tidak menimbulkan suara berisik atau kegaduhan, karena dapat menggangu keberadaan burung
Setiap pengamat wajib menjaga kenyamanan burung yang diamati, itu berarti bahwa kita telah menghormati alam sekitar
Jangan terlalu dekat dengan objek yang diamati, sebaiknya menjaga jarak aman dengan objek pengamatan
Jangan menakut-nakuti, menggangu, menangkap, memberi makanan kepada burung
Perlengkapan
Memakai baju yang sesuai dan nyaman dengan kondisi lingkungan, dengan warna yang tidak mencolok dan senada dengan warna alam (hitam, hijau atau coklat). Sebaiknya menggunakan lengan panjang dan bersaku. Memakai topi, bersepatu dan membawa jas hujan
Buku catatan yang berukuran kecil, agar mudah masuk dalam saku dan disampul plastik. Untuk mencatat gunakan pensil, agar tidak luntur jika terkena hujan. hal penting untuk dicatat adalah: lokasi, waktu pengamatan (tanggal, waktu dan lama pengamatan), deskripsi singkat lokasi, jenis yang diamati dan jumlah individu
Binokuler
Dokumentasi
Mengenal Objek yang akan Diamati
Sebelum melakukan pengamatan, sebaiknya mengenali terlebih dahulu objek yang akan diamati, baik dari bentuk morfologinya, warna dan ciri khusus lainnya. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum ke lokasi, adalah mengetahui apa tujuan pengamatan, aspek apa yang akan diamati, buku panduan, perlengkapan yang berguna untuk kelancaran pengamatan
Cara Mengamati dan Mengidentifikasi
Mengamati dapat dilakukan dengan bantuan alat bantu, yaitu binokular atau monokular. Untuk mengidentifikasi, perhatikan bentuk morfologi, warna dan ciri khusus kemudian sketsa gambar dari objek yang akan diidentifikasi dengan mencocokkannya dengan buku panduan.
“SELAMAT PENGAMATAN”

» Read Full Article