Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH). Sejak tahun 1935, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, dengan luas 40.000 ha., dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Ditetapkanlah SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan total luas kawasan menjadi 113,357 ha dan terletak di Propinsi Jawa Barat dan Banten meliputi Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dimana, saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa.
Dilihat dari bentuk kawasannya, TNGHS berbentuk seperti bintang atau jemari, sehingga batas yang mengelilingi kawasan ini menjadi lebih panjang. Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi didalamnya terdapat beberapa enclave perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktivitas pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata.
Konon, banyak para petani tradisional maupun pendatang sudah tinggal sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai areal konservasi, sehingga menjadi tantangan pengelola, para pihak dan masyarakat lokal dalam mengembangkan model pengelolaan kawasan TNGHS yang lebih kolaboratif dan berkelanjutan.
Menurut Undang Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, TNGHS sebagai kawasan konservasi mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu : perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan menunjang pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dan berkesinambungan, seperti : pengatur tata air dan iklim mikro, konservasi hidupan liar, tempat penelitian, pendidikan lingkungan, kegiatan ekowisata dan pelestarian budaya.
Dimana secara nyata kawasan hutan TNGHS merupakan sumber air yang amat penting bagi masyarakat di sekitarnya termasuk kota-kota besar seperti : Bogor, Sukabumi, Tangerang, Rangkasbitung dan Jakarta. Serta menjadi tempat hidup masyarakat lokal Kesepuhan Banten Kidul, Wewengkoan Cibedug dan Masyarakat Baduy, dimana telah terjadi interaksi masyarakat dengan hutan alam yang masih utuh secara turun temurun.
Topografi kawasan pada umumnya adalah bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Adapun curah hujan rata-rata 4000 - 6000 mm/tahun, musim hujan terjadi pada bulan Oktober – April, musim kemarau berlangsung bulan Mei– September. Dengan iklim yang basah, dari kawasan ini mengalir beberapa sungai yang tak pernah kering dan mensuplai air ke wilayah sekitarnya. Sungai-sungai tersebut antara lain Ciberang — Ciujung, Cidurian, Cisadane, Cimadur dan Citarik maupun Citatih yang jauh lebih dikenal sebagai tempat wisata arung jeram.
Diperkirakan lebih dari 1.000 jenis tumbuhan terdapat di kawasan TNGHS. Selain itu, tercatat 258 jenis anggrek, 12 jenis bambu, 13 jenis rotan dan jenis-jenis tanaman pangan, hias dan tanaman obat. Khusus di sekitar puncak Gunung Salak juga terdapat jenis-jenis tumbuhan kawah dan hutan lumut.
Adapun satwa yang hidup di TNGHS juga sangat beragam dan beberapa jenis di antaranya adalah jenis langka dan dilindungi, antara lain : Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas), Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata) dan Lutung (Trachypithecus auratus).
Kawasan TNGHS juga merupakan surga bagi berbagai jenis serangga yang unik dan indah. Saat ini di TNGHS juga tercatat 244 jenis burung di kawasan ini dan 32 di antaranya adalah endemik Pulau Jawa, seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), dan Luntur Gunung (Harpactes reinwardtii).
Selain terdapat potensi flora, fauna, ekosistem hutan dan tradisi sosial budaya Masyarakat Kesepuhan Banten Kidul, Wewengkoan Cibedug dan Masyarakat Baduy seperti Seren Taun, di dalam kawasan TNGHS juga terdapat potensi pariwisata alam lainnya, seperti : fenomena alam puncak gunung, air terjun, bentang alam, perkebunan teh dan situs-situs arkeologis.
TNGHS juga sudah dikenal wisata Trekking antar lokasi objek wisata alam. Pengunjung dapat melakukan lintas alam dari satu lokasi ke lokasi lainnya, sambil melakukan pengamatan kehidupan liar, keseharian aktivitas masyarakat lokal seperti proses pembuatan gula aren, tanam padi, atau sekedar bertualang.
Upaya-upaya yang telah banyak dilakukan oleh Balai TNGHS dengan mitra-mitranya, tentunya belum akan memberikan manfaat yang lebih besar untuk penyelamatan kawasan TNGHS, apabila tidak didukung dan diikuti oleh komitmen secara terus menerus oleh peran aktif masyarakat sekitar kawasan maupun masyarakat lainnya untuk terus mendukung mempertahankan konservasi kawasan TNGHS.
(Dikutip dari berbagai sumber).
By : Akos / LEMBAR
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment